Kamis, 05 April 2012

AYAT TENTANG SUBYEK PENDIDIKAN



MAKALAH

Disusun Guna Memenui Tugas
Mata Kuliah    : Tafsir Tarbawy
Dosen Pengampu : Dr. Musthofa Rahman,M.Ag







Disusun Oleh :
Ani Mutmainnah           (103111108)
Husna                             (103111113)
Khafidhoh luthfiana     (103111119)



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011

AYAT TENTANG SUBYEK PENDIDIKAN

I.       PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai pedoman bagi kehidupan manusia (way of life). Al-Qur’an mengandung beberapa aspek yang terkait dengan pandangan hidup yang dapat membawa manusia ke jalan yang benar dan menuju kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dari beberapa aspek tersebut, secara global terkandung materi tentang kegiatan belajar-mengajar atau pendidikan yang tentunya membutuhkan komponen-komponen pendidikan, diantaranya yaitu pendidik dan peserta didik.
Pendidik dalam proses pendidikan adalah salah satu faktor yang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan. Selain pendidik, peserta didik juga mempunyai peran penting dalam proses pendidikan, tanpa adanya peserta didik maka pendidik tidak akan bisa menyalurkan pengetahuan yang dimilikinya sehingga proses pembelajaran tidak akan terjadi dan menghambat tercapainya tujuan pendidikan.antara pendidik dan peserta didik harus sejalan agar tujuan pendidikan dapat tercapai.

II.    RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Tafsir Q.S. Ar-Rahman ayat 1-4?
2.      Bagaimana Tafsir Q.S. An-Nahl ayat 43-44?
3.      Bagaimana Korelasi antara Tafsir Q.S. Ar-Rahman :1-4 dan Q.S. An-Nahl : 43-44 dengan Subyek Pendidikan?

III. PEMBAHASAN
1.      Tafsir Q.S. Ar-Rahman ayat 1-4
 
الرّحمن(1) علّم القران(2) خلق الانسان (3)علّمه البيان(4)

Tuhan yang maha pemurah. Dia-lah yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia telah menjadikan manusia. Dia telah mengajarnya pandai berbicara”.[1]

Allah Ta’ala telah memberitahukan tentang karunia dan rahmat-Nya bagi makhluk-Nya, dimana Dia telah menurunkan Al Qur’an kepada hamba-hamba-Nya, memberikan kemudahan membaca dan memahami bagi siapa saja yang Dia beri rahmat.
الرَّحْمٰنُ عَلَّمَ الْقُرْأٰنَ yaitu Tuhan yang Maha Pemurah, Dia yang telah mengajarkan Al Qur’an kepada Muhammad. Ayat ini bertujuan menolak ucapan penduduk Mekah, yang mengatakan : “Muhammad itu belajar kepada seorang guru”. Oleh karena itu surat ini diturunkan untuk merinci nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya, maka disebutkan terlebih dahulu nikmat yang paling tinggi nilainya, paling banyak manfaatnya dan paling besar faedahnya yaitu nikmat diturunkannya Al Qur’an dan diajarkannya kepada Muhammad.[2]
Dalam konteks ayat ini, kata الرَّحْمٰنُ juga dapat ditambahkan bahwa kaum musyrikin Mekkah tidak mengenal siapa Ar-Rahman sebagaimana pengakuan mereka yang direkam oleh Q.S. Al-Furqan 25: 60. Dimulainya surat ini dengan kata tersebut bertujuan juga mengundang rasa ingin tahu  mereka dengan harapan akan tergugah untuk mengakui nikmat-nikmat dan beriman kepada-Nya.[3]
Kata  عَلَّمَ  atau mengajarkan memerlukan objek. Banyak ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud objek disini adalah الاْنْسَان  atau manusia. Malaikat Jibril yang menerima wahyu dari Allah yang berupa Al Qur’an untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, disampaikan oleh beliau kepada Nabi, Malaikat Jibril tidak akan mungkin mengajarkannya kepada Nabi kalau sebelumnya tidak mendapat pengajaran dari Allah.
Al-Hasan berkata “ Kata البيان  “berarti berbicara, karena konteks Al-Qur’an berada dalam pengajaran Allah Ta’ala yaitu cara membacanya, hal ini berlangsung dengan cara memudahkan pengucapan artikulasi serta memudahkan keluarnya huruf melalui jalannya masing-masing dari tenggorokan, lidah dan dua buah bibir sesuai dengan keragaman artikulasi sesuai dengan jenis hurufnya.         [4]
Sedangkan menurut Thabathaba’I, kata bayan berarti jelas, yang dimaksud disini dalam arti potensi mengungkap yakni kalam/ucapan yang dengannya dapat terungkap apa yang terdapat dalam benak. Menurutnya tidaklah dapat terwujud kehidupan bermasyarakat manusia, tidak juga makhluk ini dapat mencapai kemajuan yang mengagumkan dalam kehidupannya kecuali dengan kesadaran tentang al-kalam/pembicaraan itu sendiri, karena dengan demikian dia telah membuka pintu untuk memeroleh dan memberi pamahaman, tanpa itu manusia akan sama saja dengan binatang dalam hal ketidakmampuannya mengubah wajah kehidupan dunia ini.[5]

2.      Tafsir Q.S. An-Nahl ayat 43-44
   
وَمَا اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلأَ رِجَلآ نٌوْحِيْ اِلَيْهِمْ فَسْئَلُوْا اَهْلَ ألذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (43)
بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ الذِّكْرَلِتُبَيِّنَ للِنَّاسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ(44)
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu pada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kalian tidak mengatahui. Dengan membawa keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.[6]

وَمَا اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلأَ رِجَلآ نٌوْحِيْ اِلَيْهِمْ  = Tidakkah Kami mengutus para rasul sebelummu kepada umat-umat untuk mengajak mereka agar mentauhidkan Aku dan melaksanakan perintah-Ku, kecuali mereka itu adalah laki-laki dari Bani Adam yang Kami wahyukan kepada mereka, bukan para malaikat. Ayat ini menguraikan kesesatan pandangan mereka menyangkut kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dalam penolakan itu mereka selalu berkata bahwa manusia tidak wajar menjadi utusan Allah, atau paling tidak dia harus disertai oleh malaikat.
فَسْئَلُوْا اَهْلَ ألذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ  = Maka tanyakanlah kepada ahli kitab dahulu diantara orang-orang Yahudi dan Nasrani, apakah para utusan yang diutus kepada mereka itu manusia ataukah malaikat? Jika mereka itu malaikat silakan kalian ingkari Muhammad SAW tetapi jika mereka itu manusia, jangan kalian ingkari dia. أهل الذكر (Ahli dzikri): Ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menerima kitab-kitab dan ajaran dari Nabi-nabi terdahulu. Di sini tersebut Ahlu-Dzikr, orang yang ahli peringatan, atau orang yang berpengetahuan lebih luas. Arti umum ayat menyuruhkan orang yang tidak tahu bertanya kepada yang lebih tahu, karena ilmu pengetahuan itu adalah umum sifatnya, berfaedah mencari kebenaran. Menurut yang diriwayatkan oleh Mujahid dari Ibnu Abbas bahwa ahlu-dzikri di sini maksudnya ialah Ahlul-kitab. Sebelum ahlu kitab ini dipengaruhi oleh nafsu ingin menang sendiri, mereka akan mengakui bahwa Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang terdahulu itu semuanya adalah manusia belaka, manusia pilihan yang diberi wahyu oleh Allah.
Dengan ayat ini kita mendapat pengertian bahwasannya kita boleh menuntut ilmu kepada ahlinya, dimana saja dan siapa saja, sebab yang kita cari ialah kebenaran.[7]
بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِ  = keterangan-keterangan dan zubur, para rasul yang diutus sebelum itu semua membawa keterangan-keterangan yakni mukjizat-mukjizat nyata yang membuktikan kebenaran mereka sebagai rasul dan sebagian pembawa pula zubur yakni kitab-kitab yang mengandung ketetapan-ketetapan hukum dan nasihat-nasihat yang seharusnya menyentuh hati. Kata Zubur yakni tulisan, yang dimaksud disini adalah Taurat, Injil, Zabur dan Shuhuf Ibrahim as.[8]
وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ الذِّكْرَلِتُبَيِّنَ للِنَّاسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ = dan Kami turunkan padamu adz-dzikr agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. Kata adz-dzikr disini adalah al Qur’an, dari segi bahasa adalah antonim kata lupa. Al Qur’an dinamai demekian karena ayat-ayatnya berfungsi mengingatkan manusia. Pengulangan kata turun dua kali yakni وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ dan مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ  mengisyaratkan perbedaan penurunan yang dimaksud, yang pertama adalah penurunan al Qur’an kepada Nabi Muhammad yang bersifat langsung dari Allah dan dengan redaksi pilihan-Nya sendiri. Sedang yang kedua adalah ditujukan kepada manusia seluruhnya.
وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ = Supaya mereka berfikir, yakni agar mereka berfikir dan tidak mengikuti jejak para pendusta terdahulu sehingga mereka tidak ditimpa azab seperti yang telah ditimpakan kepada mereka. Allah tidak membinasakan mereka dengan azab yang cepat, akan tetapi dengan keadaan yang menakutkan seperti angin kencang, petir dan gempa. Disini terdapat penangguhan waktu yang mungkin didalamnya terdapat pengabaian, ini adalah salah satu dampak rahmat Allah terhadap hamba-Nya.  

3.      Korelasi Antara Tafsir Q.S. Ar-Rahman :1-4 dan Q.S. An-Nahl : 43-44 dengan Subyek Pendidikan
Surat Ar-Rahman ayat 1-4 menjelaskan tentang suatu bentuk kasih sayang atau rahmat dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan manusia lain berupa pengajaran. Allah-lah yang menciptakan manusia dan mengajarinya pandai berbicara, yang dimaksud pandai bicara disini adalah mampu menjelaskan apa yang telah dipelajari agar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Surat An-Nahl menjelaskan tentang penjelasan bahwa Allah mengutus para Rasul untuk mengajak umat-umatnya agar mentauhidkan Allah dan melaksanakan perintah-Nya, selain itu juga diterangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai peringatan bagi manusia dan supaya Nabi memberitahukan kepada mereka apa yang diturunkan baik berupa hukum syariat dan ikhwal umat-umat yang dibinasakan karena penentangan mereka terhadap nabi.
Berdasarkan ayat diatas dapat diambil korelasinya yaitu dalam proses pendidikan diperlukan subyek atau pelaku pendidikan, subyek ini bisa berupa pendidik (yang memberikan pengajaran atau pendidikan) dan peserta didik (yang mendapat pengajaran atau pendidikan). Seperti terdapat dalam ayat diatas, Nabi Muhammad mendapat pelajaran dari Allah dan menyampaikan kepada umatnya, dalam hal ini posisi Nabi Muhammad sebagai peserta didik dan juga sebagai pendidik karena nabi menerima pelajaran sekaligus juga menyampaikan dan mengajarkannya kepada umatnya. Selain itu kita juga diperintahkan untuk bertanya kepada orang lain tentang sesuatu yang belum diketahui, walaupun orang tersebut tidak beragama Islam selama itu dilakukan demi kebenaran.
Pendidik dan peserta didik sangat erat hubungannya, karena tanpa salah satu dari mereka maka proses pendidikan tidak akan berjalan. Dengan adanya proses pendidikan diharapkan siswa menangkap materi yang disampaikan oleh pendidik dengan baik dan mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan dalam kesehariannya.
Untuk menjadi seorang pendidik yang baik maka harus mempunyai sifat-sifat seperti : Kasih sayang kepada peserta didik, lemah lembut, rendah hati, adil, konsekuen, perkataan sesuai dengan perbuatan, sederhana, dan menghormati ilmu yang bukan pegangannya.[9] Begitu pula sebaliknya seorang peserta didik juga harus mempunyai sikap tawadhu’, ulet, sabar dan tekun dalam menuntut ilmu.

IV.             KESIMPULAN
Dalam Q.S. Ar-Rahman ayat 1-4 dan Q.S. An-Nahl ayat 43-44 terdapat hubungan yang sangart erat dengan pendidikan, khususnya tentang subyek pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan pengajaran yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril tentang ketauhidan dan sebagainya dan Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk menyampaikannya kepada umatnya.
Subyek pendidikan meliputi pendidik dan peserta didik, keduanya merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu diantara keduanya tidak ada maka tidak akan terjadi proses pendidikan, sehingga tujuan pendidikan untuk mencapai insane kamil tidak akan dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet. I
Hamka, Tafsir Al Azhar Juz XIII-XIV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2008)
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, jilid 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 3                                        , Tafsir Al-Mishbah, jilid 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 8
Syaikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu, Lubabut Tafsir min Ibni Katsiir,terj. M. Abdul Ghofar dan Abu Ihsan Al-Atsari, (Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008), cet.1
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif  Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010)


[1]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet. I, hlm. 531
[2] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000),  hlm. 4050
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, jilid 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 3, hlm. 277
[4] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubabut Tafsir min Ibni Katsiir,terj. M. Abdul Ghofar dan Abu Ihsan Al-Atsari, (Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008), cet.1, hlm. 229-230
[5] M. Quraish Shihab, Ibid, hlm. 278
[6] Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 272
[7] Hamka, Tafsir Al Azhar Juz XIII-XIV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2008), hlm.249
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, jilid 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 8, hlm. 340
[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif  Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 84

HADITS TENTANG BIRR AL-WALIDAIN


MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah : Hadits Tarbawy
Dosen Pengampu : prof. Dr. H. M. Erfan Soebahar, MA





Disusun oleh :
Ircham Mashadi         ( 103111118 )
Khafidhoh Luthfiana ( 103111119 )
Lailatul Hidayah        ( 103111120 )

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011

BIR AL-WALIDAIN

I.         PENDAHULUAN
                   Dalam hidup di dunia ini kita tidak bisa lepas dari orang tua, karena merekalah kita ada di dunia ini, dan karena mereka juga kita bisa hidup enak tanpa memikirkan betapa besar jerih payah kedua orang tua dahulu sejak kita lahir, dari mulai kita lahir, anak-anak sampai dewasa, jasa mereka yang patut kita hargai dengan cara kita menyayangi, menghormati dan menuruti apa saja yang mereka perintahkan selama perintah itu tidak untuk menyekutukan Allah.
                   Betapa mulianya kedua orang tua sampai-sampai ridhanya Allah tergantung ridha orang tua begitu pula sebaliknya murkanya Allah tergantung murka orang tua. Maka tidak sepantasnya kita membentak, menghardik apalagi sampai berbuat kasar karena itu merupakan perbuatan yang dzalim. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang berbuat baik kepada orang tua.
    
II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian Birr al-Walidain ?
B.     Ridha Allah terletak pada ridha orang tua ?
C.     Perbandingan ibu dan ayah tiga banding satu ?
D.    Birr al-Walidain termasuk amal yang dicintai Allah ?

III.   PEMBAHASAN
A.    Pengertian Birrul Walidain
                 Birr berasal dari kata bahasa arab yang berarti taat dengan mempergaulinya secara baik atas dasar cinta dan kasih sayang. Menurut Imam Nawawi Birr al-walidain adalah berbuat baik kepada orang tua bersikap baik kepadanya serta melakukan hal-hal yang membuatnya bahagia serta berbuat baik kepada teman dan sahabat-sahabat keduanya.
                 Al-Imam adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birr al-walidain itu hanya dapat direalisasikan dengan memenuhi tiga bentuk kewajiban yaitu pertama, menaati segala perintah orang tua kecuali dalam maksiat. Kedua, menjaga amanat harta yang dititipkan orang tua atau diberikan oleh orang tua. Ketiga, membantu atau menolong orang tua apabila mereka membutuhkan.[1]
Firman Allah dalam surat Al-Isra’ : 23 -24
وَقَضَى رَبُّكَ اَلاَّ تَعْبُدُوْا اِلاَّ اِيَّاهُ وَبِا الْوَالِدَيْنِ اِحْسَانَ ج اِمَّا يَبْلُغُنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُ هُمَا اَوْ كِلاَ هُمَا فَلاَ تَقُلْ لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا ‹٢٣› وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرًا ‹٢۴›
Artinya : “ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan hendaklah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.[2]

                 Ayat diatas mengandung dua maksud, yang pertama adalah kita dilarang untuk menyekutukan Allah pada suatu apapun karena menyekutukan Allah (syirik) termasuk dosa besar yang tidak akan diampuni dosanya kecuali dengan taubatan nasukha. Yang kedua kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, kewajiban anak berbakti kepada orang tua bukan hanya pada waktu mereka masih hidup, bahkan setelah meninggal dunia, anak harus tetap berbakti kepadanya. Jangan sekali-kali kita mengatakan “ah” apalagi membentak, memukul dan yang lebih dari itu. Karena ucapan “ah” saja sudah membawa dosa apalagi jika berbuat lebih.[3]

B.     Ridha Allah terletak pada ridha orang tua
     Ridha Allah merupakan puncak pencarian dari seorang hamba yang mengabdi kepada-Nya. Beramal saleh untuk mendapatkan balasan kebajikan dari Allah tidaklah salah, demikian pula mengabdi kepada-Nya untuk mendambakan surga-Nya juga bukan tindakan keliru, akan tetapi tunduk dan patuh kepada Allah untuk mengharapkan Ridha-nya itulah sebenarnya tingkat tertinggi dari kebahagiaan orang yang mendapatkan Ridha Allah.[4] Adapun sesuatu yang dapat membuat diri kita ridha tanpa harus diikuti dengan perasaan murka adalah latihan jiwa untuk selalu yakin bahwa Allah SAW telah menetapkan segala sesuatu baginya, bersabar untuk mengerjakan ketaatan dan ibadah akan melahirkan keridhaan dari seorang hamba kepada tuhannya. Dengan demikian, keridhaan merupakan pintu Allah yang sangat agung, surga dunia adalah kenikmatan bagi para ahli ibadah, dan ketenangan bagi para pecinta-Nya. Maksud ridha hamba terhadap Allah adalah ketika dia bisa menerima dan tidak membenci ketentuan Allah yang ditetapkan baginya. Adapun ridha Allah terhadap hamba-Nya adalah ketika dia melihatnya dalam keadaan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[5]
Rasulullah SAW. bersabda :
حَدَ ثَنَا اَبُوْ حَفْصٍ عَمْرُ و بْنُ عَلِي حَدَ ثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحاَ رِثِ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَا ءٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ عَبْدِ الله بْنِ عَمْرٍو عَنِ النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: رِ ضَا الرَّ بِّ فِيْ رِضَاالْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَاِلد[6]
Artinya :Diceritakan dari Abu hafsin Amr ibn ‘Ali, diceritakan dari Khalid ibn Harits, dari Syu’bah, dari Ya’la ibn ‘Atha’, dari ayahnya, dari Abdillah ibn ‘Amr, dari Nabi SAW. beliau bersabda : “Keridhaan Allah terletak kepada keridhaan kedua orang tua dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan kedua orang tua”. (HR.at-Tirmidzy)

                 Nabi SAW. bersabda bahwa Ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua dan demikian pula murka-Nya. Bahwa hadist diatas jelas mengutamakan keridhaan kedua orang tua, demikian gambaran betapa seorang anak harus memuliakan kedua orang tuanya karena memang jasa kedua orang tua tidak bisa dihitung-hitung dan tidak bisa ditimbang dengan apapun. Karena jasa-jasanya yang sangat besar, begitu pula tanggung jawab terhadap anaknya tersebut.  Ungkapan Nabi SAW tersebut mengisyaratkan kepada umatnya bahwa tidak ada alasan lagi bagi seorang anak manusia muslim untuk tidak taat dan patuh terhadap kedua orang tuanya, seorang anak diwajibkan berbuat baik kepada orang tuanya dalam keadaan bagaimanapun, artinya jangan sampai si anak menyinggung perasaan kedua orang tuanya, Birr al-walidain merupakan perintah Allah yang telah menjadi ketetapan-Nya untuk dilaksanakan oleh setiap anak manusia. Walaupun seandainya orang tua berbuat dzalim kepada anaknya, dengan melakukan tidak semestinya, maka jangan sekali-kali si anak berbuat tidak baik, atau membalas dan mengimbangi ketidakbaikan tersebut, karena Allah tidak akan meridhainya.[7]      

C.    Perbandingan ibu dan ayah tiga banding satu
Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang betapa berat perjuangan orang tua membesarkan dan mendidik putra putrinya, terutama ibu yang dengan susah payah telah mengandungnya selama 9 bulan, kemudian setelah susah payah melahirkan, menyusuinya selama 2 tahun dengan mencurahkan seluruh perhatian dan kasih sayangnya untuk seorang anak.
Rasulullah SAW. Bersabda :
حَدَ ثَنَا قُتَيْبَةْ بْنُ سَعِيْدٍ ,حَدَ ثَناَ جَرِ يْرٌ, عَنْ عُمَا رَةَ بْنِ الْقَعْقَاعْ بْنِ شُبْرُمَةَ عَنْ اَبِي زُرْعَةْ, عَنْ اَبِي هر يرة رضي الله عنه قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ اِلَى رسو ل الله صلى الله عليه و سلم فَقَالَ : يَا رَسُوْلُ الله مَنْ اَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَا بَتِي ؟ قَالَ : اُمُّكَ . قال : ثُمَّ مَنْ ؟ قال : اُمُّكَ .قال : ثُمَّ مَنْ ؟ قال : اُمُّكَ . قال : ثُمَّ مَنْ ؟ قال : ثُمَّ اَبُوْكَ (رواه البخارى)[8]
          Artinya : “ Diceritakan dari Qutaibah bin Sa’id, Jarir, dari Umaroh ibn Al Qa’qa’ ibn Syubrumah, dari Abi Zur’ah, dari Abu Hurairah ra. Ia berkata : seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW. Maka dia berkata : “wahai Rasulullah ! siapakah yang paling berhak untuk saya pergauli dengan baik ?Nabi menjawab : “Ibumu”. Dia bertanya lagi lalu siapa ? Nabi menjawab : “ Ibumu”. Dia bertanya lagi, lali siapa  : Nabi menjawab : “ Ibumu”. Dia bertanya lagi, lalu siapa ? “Bapakmu” (HR.Bukhori).[9]

                 Hadits ini menegaskan bahwa Nabi SAW. Menunjukkan perbuatan baik kepada ibu berada diatas lainnya, dan para sahabat biasa mengingatkan hal ini kepada umat Islam sepeninggal Nabi SAW. Ibn Abbas menganggap perbuatan baik kepada Ibu sebagai tindakan terbaik untuk membawa seseorang lebih dekat kepada Allah.[10]
                 Betapa mulianya seorang ibu sampai-sampai perjuangan ibu itu banyak dijadikan penyair sebagai syair sebuah lagu. Selain itu Rasulullah bersabda :
                 عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم اَلْجَنَّةُ تَحْتَ اَقْدَامِ اْلاُّمَّهَاتِ

          Artinya : “ Dari Anas ra. Ia berkata : Rasulullah SAW. bersabda surga itu dibawah telapak kaki Ibu. (HR. Bukhori)

                 Hadits diatas memberikan pengertian kepada kita betapa mulia derajat seorang ibu dimata anak-anaknya, sehingga sebagai konsekuensinya anak wajib menghormati, patuh, tunduk, dan berbakti kepadanya selama dia tidak berada dalam jalan yang bertentangan dengan ajaran agama yang benar.[11]

D.    Birr al-Walidain termasuk amal yang dicintai Allah
حَدَّثَنَا اَبُو الْوَلِيْدِ قَالَ : حَدَّثَنَا شُعْبَةُ,قَالَ الْوَلِيْدُ بْنُ عَيْزَارِ :اَخْبَرَنِيْ قَالَ :سَمِعْتُ اَبَا عُمْرٍو الشَّيْبَانِىَّ يَقُوْلُ اَخْبَرَنَا صَاحِبُ هٰذِهِ الدَّارِ وَاَوْمَأَبِيَدِيْهِ اِلَى دَارِ عَبْدِاللهِ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَيُّ الْعَمَلِ اَحَبُّ اِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ قَالَ : اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا ,قَالَ : ثُمَّ اَيٌّ؟  قَالَ : ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ, قَالَ : ثُمَّ اَيٌّ ؟ قَالَ : الْجِهَادُ فِى سَبِيْلِ اللهِ . قَالَ حَدَّثَنِى بِهِنَّ وَلَوِاسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِيْ[12]
Artinya : Diceritakan dari Abul Walid, Ia berkata : diceritakan dari Syu’bah, bahwa Al Walid ibn ‘Aizar berkata : saya mendapat berita, saya mendengar  Aba ‘umr Asy Syaibani, dia berkata: “Berkata kepadaku orang yang punya rumah ini” dan ia memberi isyarat dengan tangannya pada rumah Abdullah dia berkata: “Aku bertanyapada Rasulullah SAW.: “Pekerjaan apakah yang paling disenangi oleh Allah”?. Beliau menjawab: “Sholat tepat pada waktunya”, Abdullah berkata: “Kemudian apa”?. Beliau menjawab: “ Kemudian berbuat baik (menghormati) kepada kedua orang tua”. Abdullah berkata: “Kemudian apa”? Beliau menjawab: “Berjuang di jalan Allah”. Abdullah berkata: “Beliau bersabda padaku dengan tiga hal tersebut, andaikan aku minta tambah niscaya beliau menambahinya”.[13]
Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Rasulullah SAW. Mengenai perbuatan yang paling di sukai Allah dan paling utama bagi-Nya agar dia lebih tertarik dan perhatian lebih tertarik dan perhatianya lebih besar. Rasulullah SAW menjawab bahwa yang paling disukai ,paling utama dan pling tinggi derajatnya serta paling banyak pahalanya ialah sholat pada waktunya .Disini Rasullullah menjelaskan bahwasanya menunaikan sholat pada waktu yang di tentukan adalah perbuatan yang paling utama. Firman Allah dalam Q.S.An-Nisa :103 :
اِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِييْنَ كِتَابًا مَّوْقُوْتًا
Artinya : “Sesungguhnya shalat itu diwajibkan bagi orang-orang yang beriman dengan waktu yang ditentukan”. (Q.S.An-Nisa:103)
Sholat pada waktunya membiasakan tertib, teratur, ingat kepada Allah, serta bermunajat dengan Allah lima kali sehari semalam akan melatih jiwa dan mendidiknya, menguasai nafsu syahwat dan tidak memungkinkan setan membuat fitnah karena sesungguhnya setan ingin menjaring jiwa-jiwa yang lengah dari dzikir kepada Allah, jiwa-jiwa yang sibuk dengan urusan duniawi. Adapun menunaikan shalat di luar waktunya akan membuat kita berdosa dan mendapat siksa bahkan mungkin shalat kita tidak diterima.[14]
Kemudian Abdullah bin Mas’ud bertanya lagi mengenai keutamaan derajat sesudah itu, maka Rasulullah bersabda : “Berbuat baik kepada kedua orang tua. Berbuat baik kepada orang tua dengan jalan patuh terhadap perintahnya, mencarikan kemaslahatan bagi kedua orang tua, menghormatinya, melayani dengan baik dan hendaknya kita selalu mendoakan kedua orang tua. Berikut doa untuk kedua orang tua :
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْلِى وَلِوَالِدَىَّ وَ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرًا
Artinya : “Ya Allah Tuhan kami, ampunilah dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, kasih sayangilah keduanya, sebagaimana keduanya memelihara kami sewaktu kami masih kecil”.
    Kedua orang tua kita telah memelihara kita sejak kita masih bayi sampai dewasa, mencintai dan menyayangi kita, dan mengajari serta mendidik. Begitu mulianya orang tua sampai-sampai dulu Nabi tidak mengizinkan jihad dan berperang kecuali setelah mendapat izin dari kedua orang tua dan sungguh beliau telah menentukan garis berusaha minta izin lebih dahulu kepada orang tua sebagai jihad di jalan Allah untuk menegakkan Agama-Nya.
    Abdullah bin Mas’ud kemudian bertanya lagi kepada Nabi, tingkatan paling utama setelah berbuat baik kepada Rasulullah menjawab : “Berjuanglah di jalan Allah”, jihad adalah pengorbanan semampunya baik harta maupun jiwa, kedudukan dan kehormatannya, kekuatan dan fikirannya, tulisan dan ucapannya untuk meninggikan kalimat Allah untuk menjaga agama-Nya, menyebarluaskannya di masyarakat umum, menjaga negara yang diduduki dan diatur secara Islam dan menjaga serta membela penduduknya dari orang-orang aniaya yang mau berlaku jahat.
Cara mematuhi orang tua diantaranya :
a.         Taat kepada keduanya
b.        Menyenangkan hati keduanya
c.         Bersikap baik kepada orang tua walaupun mereka musyrik dan mendzolimi kita.
d.        Minta izin sebelum melakukan sesuatu.
e.         Selalu mendokan keduanya sekalipun telah meninggal
f.         Bersilaturrahim dengan teman-teman kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya.[15]

IV.   KESIMPULAN
Birr al-walidain adalah berbuat baik kepada orang tua bersikap baik kepadanya serta melakukan hal-hal yang membuatnya bahagia serta berbuat baik kepada teman dan sahabat-sahabat keduanya.
Ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua dan demikian pula murka-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa keridhaan orang tua merupakan hal yang paling utama.
Kemuliaan seorang ibu dibanding ayah adalah tiga banding satu karena tugas yang diemban ibu sangatlah berat dari mulai mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh, merawat hingga membesarkan anak-anaknya.
Selain berbuat baik kepada kedua orang tua, juga terdapat amalan yang disukai oleh Allah lainnya diantaranya shalat pada waktunya dan jihad di jalan Allah. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menghormati kedua orang tua diantaranya taat kepada mereka, menyenangkan hati keduanya dll.

DAFTAR PUSTAKA
Ajaj, Hamzah Muhammad Shalih, Menyingkap Tirai 55 Wasiat Rasul, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993
Al Mubarokfury, Al Imam al Khafidz Abi Al’Ula Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzy bi Syarh Jami’ at-Tirmidzy, Libanon : Dat al- Kotob al-Ilmiyah, 1990
Al Qistholany, Al Imam Syihabuddin Abil Abbas Ahmad ibn Muhammad Asy-Syafi’i, Irsyadus Sary Tshirh Shahih al Bukhory, juz.13, Libanon : Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1996
Al-Hasyimi, Muhammad Ali, The Ideal Muslim : The true Islamic Personality as defined in the Qur’an and Sunnah, terj. Ahmad Baidowi, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001.
Alkhuly, Muhammad ‘Abdul Aziz, Al Adabun Nabawi khlaq Rasulullah SAW, terj. Abdullah Sonhadji, Semarang : CV. Wicaksono, 1989
Ayyub, Hasan, As Sulukul Ijtima’i fil Islam Etika Islam (menuju kehidupan yang hakiki), terj. Tarmana Ahmad Qasim dkk, Bandung : Trigenda karya, 1994.
Departemen Agama RI, Al Qur’an al Karim dan terjemah Bahasa Indonesia, Kudus : Menara Kudus
Djatnika, Rochmat, sistem etika islami, Jakarta : pustaka panjimas,1996
Iwad, Ahmad Aabdul, Mutiara Hadis Qudsi, terj : Dewi Ariyanti, Bandung : PT. Mizan Pustaka,2008
Juwariyah, Hadits Tarbawi, Yogyakarta : Teras, 2010
Sunarto, Achmad, Terjemah Shahih Bukhari, cet.1, Semarang : CV. Asy-Syifa’, 1993


[1] Juwariyah, Hadits Tarbawi, (Yogyakarta : Teras, 2010), hlm. 15-16
[2] Departemen Agama RI, Al Qur’an al Karim dan terjemah Bahasa Indonesia, (Kudus : Menara Kudus), hlm. 427-428
[3] Hamzah Muhammad Shalih Ajaj, Menyingkap Tirai 55 Wasiat Rasul, (Jakarta : Puataka Panjimas, 1993), hlm. 136
[4]Jawariyah Op.cit. hal 18-19
[5] Ahmad Aabdul Iwad, mutiara hadis qudsi, terj : Dewi Ariyanti, (Bandung : PT. Mizan Pustaka,2008) hal 353
[6] Al Imam al Khafidz Abi Al’Ula Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim Al Mubarokfury, Tuhfatul Ahwadzy bi Syarh Jami’ at-Tirmidzy, (Libanon : Dat al- Kotob al-Ilmiyah, 1990), hlm. 22
[7] Rochmat djatnika, sistem etika islami, (jakarta : pustaka panjimas,1996) ha l204-205
[8] Al Imam Syihabuddin Abil Abbas Ahmad ibn Muhammad Asy-Syafi’i Al Qistholany, Irsyadus Sary Tshirh Shahih al Bukhory, juz.13, (Libanon : Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1996), hlm. 5
[9] Juwariyah, hlm. 20
[10] Muhammad Ali Al-Hasyimi, The Ideal Muslim : The true Islamic Personality as defined in the Qur’an and Sunnah, terj. Ahmad Baidowi, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001), hlm. 80
[11] Juwariyah, Op.cit, hlm.22
[12] Al Imam Syihabuddin Abil Abbas Ahmad ibn Muhammad Asy-Syafi’i Al Qistholany, Irsyadus Sary Tshirh Shahih al Bukhory, juz.13, Op.cit, hlm. 4
[13] Achmad Sunarto dkk, Terjemah Shahih Bukhari, cet.1, ( Semarang : CV. Asy-Syifa’, 1993), hlm.1
[14] Muhammad ‘Abdul Aziz Alkhuly, Al Adabun Nabawi khlaq Rasulullah SAW, terj. Abdullah Sonhadji, (Semarang : CV. Wicaksono, 1989), hlm.152
[15] Hasan Ayyub, As Sulukul Ijtima’i fil Islam Etika Islam (menuju kehidupan yang hakiki), terj. Tarmana Ahmad Qasim dkk, ( Bandung : Trigenda karya, 1994), hlm. 335-342