Selasa, 09 Juli 2013

LDII

LEMBAGA DAKWAH ISLAM INDONESIA

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:  Perkembangan Pemikiran Islam
Dosen Pengampu: Prof. Achmadi

Disusun oleh:

Khafidhoh Luthfiana              (103111119)
Lailatul Hidayah                     (103111120)
Lathifatus Syifa                      (103111121)
Mahfud Sadzali                      (103111122)
Malihah                                   (103111123)
Maria Ulfa                               (103111124)
Maulida Khoirun Ni’mah        (103111125)
Mualifin                                  (103111126)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
LEMBAGA DAKWAH ISLAM INDONESIA

I.        PENDAHULUAN
Dalam sejarah Islam Indonesia terdapat polarisasi umat Islam yang amat kaya. Sejak zaman kemerdekaan, Islam sudah menunjukkan beraneka ragam wajah, yang di presentasikan oleh ormas maupun orpol. Oleh para pengantar Islam keragaman ini di identifikasikan dengan berbagai nama atau lebel. Ada Islam tradisional, yaitu agama Islam yang cara pelaksanaannya masih dicampur dengan tradisi-tradisi daerah setempat, Islam modernis yaitu Islam sangat modern dengan menggunakan logika untuk menyikapi berbagai masalah yang ada dalam Islam dan berdasarkan Alquran hadist. Islam puritan (murni), Islam ekstrem, Islam abangan, Islam nasionalis dan lain sebagainya. Adanya sekian sebutan di atas-meskipun bukan berarti terdapat polarisasi yang tegas, namun cukup menjelaskan pluralitas umat muslim di Indonesia (Imdadun R, 2005:130).
Di kalangan umat beragama di Indonesia terdapat aliran-aliran agama : yang diantaranya dianggap menyimpang oleh beberapa masyarakat muslim di Indonesia, sepertihalnya yang di ungkapkan oleh Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya tentang aliran dan paham sesat di Indonesia. Ada banyak paham sesat diantaranya Ingkar sunnah, Ahmadiyah, Jama’ Tabligh, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dan lain- lain. Akan tetapi, dalam makalah ini akan dijelaskan lebih jauh tentang paham sempalan LDII.

II.        RUMUSAN MASALAH
A.      Bagaimana Sejarah Berdirinya Lembaga Dakwah Islam Indonesia?
B.       Bagaimanakah Bentu-Bentuk Pemikiran Lembaga Dakwah Islam Indonesia?
C.       Bagaimanakah Perkembangan Pemikiran Lembaga Dakwah Islam Indonesia?



III.        PEMBAHASAN
A.      Latar Belakang Dan Sejarah Berdirinya Lembaga Dakwah Islam Indonesia
Gerakan keagamaan Islam kontemporer di Indonesia dilatarbelakangi beberapa faktor laten, yaitu: pertama, keinginan melakukan pemurnian ajaran Islam. kedua, ingin mendobrak kemapanan dalam beragama terutama terhadap struktur taqlid berbagai kelompok masyarakat Islam selama ini. Mereka menghendaki agar setiap anggota masyarakat menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, terutama dalam rangka memahami ajaran agama. Oleh sebab itu, para pengikut gerakan-gerakan tersebut didorong untuk menggali ajaran Islam secara bebas dari sumbernya, tanpa harus terpaku pada interpretasi para tokoh agama yang oleh kebanyakan orang dianggap telah mapan. Ketiga, gerakan keagamaan itu berkeinginan menciptakan masyarakat ideal. Dalam pandangan gerakan ini, masyarakat ideal yang dimaksud adalah masyarakat yang diatur melalui kepemimpinan tunggal. Juga, masyarakat ideal dalam bayangan gerakan keagamaan itu adalah masyarakat yang terbebaskan dari pengaruh barat. Dari alasan ini, gerakan keagamaan kontemporer menawarkan Islam sebagai alternatif. Dalam pandangan mereka, ajaran Islam memiliki totalitas, dalam arti bahwa Islam bukan hanya ajaran yang menyangkut sistem kepercayaan dan ritus semata, melainkan ajaran yanga meliputi aqidah, syari’at, dan nizham (way of life).[1]
Pada usia 30 tahun, Nurhasan Al-Ubaedah mulai berada di Mekah, sampai 10 tahun lamanya. Dua perguruan yang ditinggali Nurhasan Al-Ubaedah selama belajar agama di Mekah adalah Rukbat Naqsyabaniiah (nama ini tidak ada hubungannya dengan tarekat naqsyabandiah) dan sebuah perguruan di Desa Syamiah. Madrasah yang bernama Darul Hadits adalah tempat di mana ia mendalami Al-Qur’an dan Hadits. Guru yang ia ikuti adalah Syekh Abu Samah dari Mesir, disamping itu juga berguru kepada Syekh Abu Umar Hamdan.
Madrasah Darul Hadits, tempat di mana Nurhasan Al-Ubaedah cukup lama belajar agama, nampaknya yang paling banyak mempengaruhi pikiran-pikirannya. Di pesantren tersebut konon mulai tertanam fanatisme yang mendalam terhadap ajaran-ajaran kebenaran sesuai dengan petunjuk al-qura’an dan Hadits Nabi SAW. hingga pada saatnya Nurhasan al-Ubaedah kembali ke tanah air, hanya ajaran dari kedua sumber itulah, hampir tidak ada yang lain lagi yang dijadikan pegangan dalam rangka mengamalkan agamanya dan menyebarluaskan pengetahuannya.[2]
Perbedaan dengan kelompok  Islam lainnya terletak pada pemahaman terhadap beberapa nash al-qur’an dan hadits nabi SAW, terutama yang menyangkut soal kepemimpinana ummat (keamiran), bai’at dan arti Islam. Tumbuhnya perbedaan tersebut diawali oleh penilaian terhadap kondisi obyektif ummat, yanga sering diungkapkan Kyai Nurhasan Al-Ubaedah-selaku pendiri Islam Jama’ah kepada para kolega dan murid-muridnya. Menurutnya, umat Islam di Indonesia sudah lama terpecah-pecah menjadi sekian banyak golongan. Keadaan ini katanya tepat dengan diramalkan oleh Rasulullah SAW, bahwa ”pada suatu saat nanti ummatku akan terpecah-pecah menjadi 71 golongan. Dari sekian banyak golongan itu tidak ada yang selamat kecuali satu, yakni yang berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnahku”. Sepengetahuan Nurhasan tidak ada satu kelompok Islampun yang menunjukkan sebagai pengamal Qur’an dan Sunnah Nabi secara murni. Adapun kesalahan umat ia tunjukkan, antara lain: Pertama, terlalu berbelit-belitnya pendefinisian tentang Islam. kedua, kesalahan umat Islam adalah tidak bisa mencetak pemimpin yang layak dihormati dan dipercaya sebagai seorang amir.[3]
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) ini adalah nama baru dari sebuah aliran sesat terbesar di Indonesia, yang selama ini sudah sering berganti nama karena sering dilarang oleh pemerintah Indonesia. Lembaga ini didirikan oleh mendiang Nur Hasan Ubaidah Lubis (Luar Biasa), pada awalnya bernama Darul Hadits, pada tahun 1951. Karena ajarannya meresahkan masyarakat Jawa Timur, maka Darul Hadits dilarang oleh PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) Jawa Timur. Setelah di larang, Darul Hadits itu berganti nama dengan Islam Jama’ah. Waktu aliran sesat ini berganti nama dengan Islam Jama’ah, banyak artis-artis terkenal di ibu kota (Jakarta) yang masuk ke dalam ajaran sesat ini, diantaranya Bunyamin S, Ida Royani, Kinan Nasution dan lain-lin. Para artis dan penyanyi itu masuk aliran sesat ini karena tertarik dengan ajaran tebus dosanya.[4]
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) didirikan di Surabaya pada tanggal, 3 Januari 1972, setelah mengalami perubahan nama dari Lembaga Karyawan Dakwah Islam Indonesia, yaitu Lemkari, namun dengan nama Organisasi Karatido Indonesia. langkah itu merupakan realisasi keputusan musyawarah besar IV Lekari di Jakarta 1990. Lemkari itu sendiri merupakan organisasi baru sebagai wadah kegiatan organisasi Islam Jamaah yang telah dibubarkan oleh oleh Kejaksaan Agung Pada 1971. Islam Jamaah itu sendiri merupaka nama baru setelah sebelumnya lebih dikenal  dengan nama Darul Hadits, yang telah dibubarkan. Sementara itu mereka di Jawa Tengah telah pula mendirikan Yakari (Yayasan Karyawan Islam) pada 1972, untuk tujuan yang sama. Di kemudian hari organisasi ini bergabung dengan Golkar. Tidak bisa dipungkiri bahwa LDII pada hakikatnya tetap sama dengan ajaran Islam Jamaah, yang didirikan oleh Nurhasan Al-Ubaidah.[5]

B.       Bentuk-Bentuk Pemikiran Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)
Pokok-pokok ajaran LDII yaitu :
1.        Orang Islam di luar kelompok mereka adalah kafir dan najis, termasuk kedua orang tua sekalipun.
2.        Kalau ada orang di luar kelompok mereka melakukan shalat di masjid mereka, maka bekas tempat shalatnya dicuci karena dianggap sudah terkena najis.
3.        Wajib taat kepada amir atau imam. Tidak ada Islam tanpa jama’ah, tidak ada jama’ah tanpa keamiran, tidak ada keamiran tanpa ketaatan.”
4.        Mati dalam keadaan belum bai’at kepada amir atau imam LDII maka akan mati jahiliyyah (mati kafir).
5.        Al-Qur’an dan Hadits yang boleh diterima adalah yang manqul (yang keluar dari mulut imam atau amir mereka). Yang keluar/diucapkan oleh mulut-mulut yang bukan imam/amir mereka maka haram untuk diikuti. “Barang siapa berkata mengenai kitab Allah dengan pendapatnya (tanpa ilmu), maka dia salah walau benar.”
6.        Haram mengaji Al-Qur’an dan Hafizd kecuali kepada imam/amir mereka.
7.        Dosa bisa ditebus kepada sang amir/imam, dan besarnya tebusan tergantung besar-kecilnya dosa yang diperbuat, sedangkan yang menentukannya adalah imam/amir.
8.        Harus rajin membayar infaq, shadaqah dan zakat kepada amir/imam mereka, dan haram menegluarkannya kepada orang lain.
9.        Harta benda di luar kelompok mereka diamggap halal untuk diambil atau dimiliki walaupun dengan cara bagaimanapun memperolehnya seperti mencuri, merampok, korupsi, menipu, dan lain-lain, asal tidak ketahuan/tertangkap. Dan kalau berhasil menipu orang Islam di luar golongan mereka, dianggap berpahala besar.   “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ...........”(al-Baqarah:29).
10.    Bila mencuri harta orang lain yang bukan golongan LDII lalu ketahuan, maka salahnya bukan mencurinya itu, tetapi kenapa mencuri kok ketahuan.
11.    Harta, uang zakat, infaq, shadaqah yang sudah diberikan kepada amir/imam, haram ditanyakan kembali catatannya atau digunakan kemana uang zakar tersebut.
12.    Haram membagikan daging qurban atau zakat fitrah kepada orang Islam di luar kelompok mereka.
13.    Haram shalat di belakang imam yang bukan kelompok mereka, kalaupun terpaksa sekali, tidak usah berwudhu karena shalatnya harus diulang kembali.
14.    Haram nikah dengan orang di luar kelompok.
15.    Perempuan LDII kalau mau bertamu ke rumah orang yang bukan kelompok mereka, maka memilih waktu pada saat  haid, karena badan dalam keadaan kotor sehingga ketika di rumah non LDII yang dianggap najis itu tidak perlu dicuci lagi.
16.    Kalau ada orang di luar kelompok mereka yang bertamu di rumah mereka, maka bekas tempat duduknya dianggap kena najis.[6]

C.       Perkembangan Pemikiran Lembaga Dakwah Islam Indonesia
Seiring dengan berjalannya waktu, lambat laun pemikiran sesat LDII sedikit demi sedikit berubah. Hal ini bisa dilihat dari berbagai aspek diantaranya :
1.      LDII Tak Lagi Menutup Diri, seperti yang termuat dalam surat kabar Bandung “Galamedia” menyatakan bahwa keberadaan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) sebagai salah satu ormas Islam, kini tidak lagi menjadi ormas yang eksklusif. LDII lebih membuka diri kepada siapa pun, khususnya dalam menyampaikan dakwah.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) LDII Jawa Barat, H. Bahrudin, M.M. Menurutnya, masih adanya anggapan masyarakat yang menyebutkan LDII umumnya mereka tidak mengetahui keberadaan dakwah LDII sebenarnya. "Sejak 2009 lalu, LDII sudah berubah paradigma khususnya dalam berdakwah, terlebih sebagai ormas Islam yang dapat merangkul semua kalangan. LDII kini tidak menggunakan atau menganut sistem keamiran yang bersifat tertutup.
Masih menurut Bahrudin, pihaknya tidak menganggap umat Islam di luar LDII sebagai kafir atau najis sehingga masjid LDII terbuka untuk umum. Selain itu, pihaknya pun bersama ormas Islam lainnya mengikuti landasan Al-Quran dan Hadis. Terlebih lagi, ada istilah masjid LDII karena semua masjid rumah Allah yang harus dimakmurkan.[7]
2.      Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) menyatakan bahwa organisasi tersebut bukan termasuk aliran sesat. Sebab LDII telah diakui oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi penganut paradigma baru yang tertuang dalam kebijakan dan program-programnya termasuk membina serta meluruskan orang-orang yang masih punya paham Islam Jamaah. Sekretaris LDII Provinsi Jateng, H M AS Tri Wardoyo SE menyampaikan bahwa LDII secara tegas tidak pernah meneruskan apalagi mengajarkan ajaran Islam Jamaah. Hal ini diperkuat dengan adanya Surat Keputusan Komisi Fatwa MUI No 03/Kep/KF-MUI/IX/2006 tentang LDII pada 4 September 2006 disebutkan, lembaga tidak menggunakan ataupun menganut sistem keamiran. LDII juga tidak menganggap umat muslim di luar kelompok mereka sebagai kafir atau najis, dan bersedia bersama dengan ormas-ormas lainnya mengikuti landasan berpikir keagamaan sebagaimana yag ditetapkan MUI.
Sebagai salah satu usahanya, sesuai saran MUI, LDII telah melakukan Rakernas pada Maret 2007 di Jakarta guna menyamakan persepsi. Salah satu hasil Raernas menyebutkan bahwa arah dan strategi LDII adalah menuju organisasi yang terakreditasi sebagai organisasi pembelajar. [8]

 IV.       KESIMPULAN
Lembaga dakwah Islam Indonesia ini adalah nama baru sebuah aliran sesat terbesar di Indonesia, yang selama ini sudah berganti nama  karena sering dilarang oleh pemerintah Indonesia. Pendirinya adalah Nur Hasan Ubaidah Lubis (Luar Biasa), pada awalnya bernama Darul Hadits pada tahun 1951. Akan tetapi, karena ajaran aliran ini meresahkan masyarakat darul hadist sempat berganti nama menjadi Islam Jama’ah, LEMKARI (Lembaga Karyawan Dakwah Indonesia) dan kini berubah lagi menjadi LDII.
Banyak dari ajaran LDII yang menyesatkan dan dapat mengganggu aqidah umat islam, seperti menganggap Orang Islam di luar kelompok mereka adalah kafir dan najis, Mati dalam keadaan belum bai’at kepada amir atau imam LDII maka akan mati jahiliyyah (mati kafir), Kalau ada orang di luar kelompok mereka melakukan shalat di masjid mereka, maka bekas tempat shalatnya dicuci karena dianggap sudah terkena najis,dan masih banyak lagi.











DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Jaiz, Hartono, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002
Ahmad Ridla, Shalih, Perkenalan Dengan Inkar Sunnah, Jakarta: Gema Insani Press, 1991
Arifin, Syamsul, Studi Agama Perspektif  Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer, Malang: Umm Press, 2009
Aziz, Abdul, dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989
Djalaluddin, M. Amin, Capita Selekta Aliran-Aliran Sempalan di Indonesia, Jakarta: LPPI, 2002
M. Nuh, Nuhrison,  Aliran/Faham Keagamaan dan Sufisme Perkotaan, Jakarta: CV. Prasasti, 2009
Su’ud, Abu, Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya Dalam Peradaban Umat Mausia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/06/nasa.html diakses pada Rabu, 12 Juni 2013 pukul 11.32 WIB




[1] Syamsul Arifin, Studi Agama Perspektif  Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer, (Malang: Umm Press, 2009), hlm. 181
[2] Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), Cet. I, hlm. 22-24
[3] Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, hlm. 29-30
[4] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), Cet. IV, hlm. 73
[5] Abu Su’ud, Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya Dalam Peradaban Umat Mausia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), Cet. I, hlm. 263
[6] M. Amin Djalaluddin, Capita Selekta Aliran-Aliran Sempalan di Indonesia, (Jakarta: LPPI, 2002), hlm. 26-28
[8] http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/06/nasa.html diakses pada Rabu, 12 Juni 2013 pukul 11.32 WIB

NAQD AL-HADITS

PERSAMBUNGAN SANAD
 اتّصل سند   )

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Naqd al-Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Moh. Erfan Soebahar, M.Ag



Di susun oleh:

Wulan Agustina                    103111105
Khafidhoh Luthfiana           103111119
Syaiful Anwar                       103111132





FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013




PERSAMBUNGAN SANAD

I.         PENDAHULUAN
Bismillaahirrohmaanirrohim hampir seluruh umat Islam telah mengakui, bahwa hadis Nabi adalah salah satu sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an karna hadis Nabi memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dengan Al-Qur’an, maka ulama hadis mulai zaman Nabi telah memberikan perhatian yang khusus terhadap hadis Nabi.
Ulama sangat besar perhatiannya kepada sanad hadis. Disamping juga matn hadis. Hal ini terlihat, sedikitnya, pada: pernyataan-pernyataan ulama uyang menyatakan bahwa sanad merupakan bagian tak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadis, banyak karya tulis ulama berkenanan dengan sanad hadis, dan dalam praktek, apabila ulama menghadapi suatu hadis, maka sanad hadis merupakan salah satu bagian yang mendapat perhatian khusus, dengan demikian, sanad hadis memiliki kedudukan yang sangat penting.
Sanad hadis memiliki kedudukan sangat yang sangat penting, sebab utamanya dilihat dari dua sisi, yaitu: 1. dilihat dari kedudukan hadis sebagai sumbar ajaran Islam, 2. Dan dilihat dari sisi sejarah hadis. Dengan demikian sangatlah penting mengkaji mengenai sanad hadis, baik itu dalam segi persambungan sanad, kualitas periwayat hadis maupun tata cara penerimaan dan penyampaian hadis. Yang sedikit banyak akan dibahas dalam makalah ini.

II.      PENGERTIAN SANAD BERSAMBUNG
 Sanad bersambung atau Itishal, menurut bahasa ittishal ( اتّصل ) barasal dari kata wa shala ( وصل )yang memiliki arti sampai, berkelanjutan[1]. Sedangkan menurut istilah Sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu. Jadi seluruh rangkaian periwayat dalam sanad mulai dari periwayat yang disandari oleh al-Mukharrij (penghimpun riwayat hadits dalam karya tulisannya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi bersambung dalam periwayatan.
 Ulama hadits berbeda pendapat tentang nama hadits yang sanad-nya bersambung. Al-Khatib al-Baghdadiy menamainya sebagai hadits musnad. Ibn al-Shalah dan al-Nawawy menyebutnya dengan hadits yang muttashil atau maushul yaitu hadits yang bersambung sanad-nya baik persambungan itu sampai kepada Nabi maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi saja.

III.   KRITERIA PERSAMBUNGAN SANAD
Untuk mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
1.    Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
2.    Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat :
a.    Melalui kitab-kitab Rijal al-Hadits, misalnya kitab Tahdzib al-Tahdzib (susunan Ibnu Hajar al-Asqalaniy), dan kitab al-Kasyf (susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby).
b.    Apakah antara periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan : a). Kesezamanan  pada masa hidupnya dan b). guru-murid dalam periwayatan hadits.
3.    Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasaniy, haddatsana, akhbarana, ‘am, anna, atau kata-kata lainnya.[2]
Jadi, suatu sanad hadits barulah dapat dikatakan bersambung apabila:
a.    Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqat (adil dan dhabith).
1)      Perawi yang adil adalah rawi yang menegakkan agama Islam, serta dihiasi akhlak yang baik, selamat dari kefasikan juga hal-hal yang merusak muru’ah.
2)      Perawi yang dhabith adalah rawi tersebut hafal betul dengan apa yang ia riwayatkan dan mampu menyampaikannya dengan baik hafalannya, ia juga memahami betul bila diriwayatkan secara makna, ia memelihara hafalan dengan catatan dari masuknya unsur perubahan huruf dan penggantian serta pengurangan di dalamnya bila ia menyampaikan dari catatannya.[3]
b.    Antara masing-masing periwayat dengan periwayat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan Tahammul wa ada’ al-hadits.[4]
Dalam hubungannya dengan tidak terpenuhinya unsur sanad bersambung, secara garis besar Ibn Hajar al-‘Asqalany membagi hadis dha’if  kepada 5 macam yakni hadits Mu’allaq (hadits yang periwayat di awal sanad-nya gugur (terputus) seorang atau lebih secara berurut), hadits mursal (hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh al-Tabi’in, baik al-Tabi’iy besar maupun al-Tabi’iy kecil tanpa terlebih dahulu hadits itu disandarkan kepada sahabat Nabi), hadits mu’dhal (hadits yang terputus sanadnya dua orang periwayat atau lebih secara berurut), hadits munqathi’ (hadits yang sanad-nya terputus di bagian mana saja baik di bagian periwayat yang berstatus sahabat maupun periwayat yang bukan sahabat) dan hadits mudallas (hadits yang terdapat tadlis atau terjadi persembunyian (pengguguran) periwayat. Kelima macam istilah ini menerangkan letak dan jumlah periwayat yang terputus dalam sanad.

IV.   APLIKASI PERSAMBUNGAN SANAD
Berikut ini dikemukakan contoh dari Sanad Riwayat Ahmad dari Al-Aswad bin Sari’ tentang pernyataan Pujian.
حَدَّثَنَا عبدالله حدَّثَنِى أَبِى ثَنَا رُوْحٌ قَالَ : ثَنَا عَوْفٌ عَنِ الْحَسَنِ عَنِ الْاَسْوَدِ بْنِ سَرِيْعٍ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ الله ، أَلاَ أَنْشُدُكَ مَحَامِدَ حَمِدْتُ بِهَا رَبّى تَبَارَكَ وَتَعَالٰى ؟ قَالَ : (( أَمَا اِنَّ رَبَّكَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ الْحَمْدُ ))[5]

Lanngkah pertama
         Mencatat nama-nama periwayat atau bisa buat skema persambungan sanad  sebagai berikut:
Text Box: قال
 

















                                                           Gambar. II
Sanad Hadis Riwayat Ahmad dari Al- Aswad Bin Sari’

Langkah kedua dan ketiga; menelusuri riwayat nama-nama periwayat dan meneliti kata-kata yang menghubungkan sanad antar para perawi, sebagaimana berikut;
Pada Gambar II terlihat nama-nama periwayat dan kata-kata yang menghubungkan antara masing-masing periwayat itu dengan periwayat yang terdekat dalam sanad hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal diatas. Berikut ini dikemukakan secara ringkas identitas para periwayat tersebut dan hubungan mereka masing-masing dengan periwayat terdekat sebelumnya yang terdapat dalam sanad hadits itu. Hal ini dimaksudkan untuk dapat diketahui apakah sanad tersebut bersambung ataukah tidak bersambung.
V.  Yang dimaksud dengan nama Ahmad dalam Gambar II diatas ialah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Habil bin Asad al-Syaybaniy Abu ‘Abd Allah al-Marzawiy ( wafat 164-241 H ). Dia, yang berfungsi juga sebagai al-mukharrij, telah menerima hadits tersebut dari Ruh (روح.)  Ahmad memang salah seorang murid dari Ruh (روح) dalam periwayatan hadits. Ulama kritikus periwayat hadits menilai Ahmad sebagai seorang yang siqat. Tidak ada seorang ulama pun yang melontarkan celaan terhadap diri Ahmad. Dalam Gambar II tampak, Ahmad menerima hadits diatas dari Ruh dengan cara al-sama’ dilihat menggunakan kata  حد ثنا . Kalau begitu, sanad  dari Ahmad kepada Ruh (روح) bersambung.
IV.   Nama Ruh (روح) yang termuat dalam Gambar II diatas adalah Ruh bin ‘Ubadah bin al-‘Ala bin Hasan bin al-Qaysiy (wafat 205 H). Dia salah seorang murid ‘Awf. Para kritikus periwayat hadits menilai Ruh sebagai seorang periwayat yang siqat. Tidak ada ulama yang melontarkan celaan terhadap diri Ruh. Dalam Gambar II terlihat, Ruh menerima hadits diatas dari ‘Awf dengan cara al-sama’ dilihat dari penggunaan kata حد ثنا. Dengan demikian, sanad dari Ruh kepada ‘Awf bersambung. Ini berarti juga, sanad dari Ahmad sampai kepada ‘Awf bersambung.

III.  Yang dimaksud dengan ‘Awf dalam Gambar II diatas ialah ‘Awf bin Abiy Jamilah al-Abdiy al-A’rabiy (wafat 146 H, ada yang menyatakan 147 H). Dia adalah salah seorang murid al-Hasan al-Bashriy. Para kritikus hadits menilai ‘Awf sebagai seorang periwayat yang siqat. Ulama tidak ada yang mencela pribadi ‘Awf. Dalam Gambar II terlihat ‘Awf menerima hadis dari al-Hasan secara ‘an‘anah. Walaupun ‘Awf memakai cara ‘an‘anah tetapi sanad dari ‘Awf kepada al-Hasan karena, [a] ‘Awf seorang periwayat yang siqat yang tidak pernah terbukti memalakukan tadlis; dan [b] ‘Awf adalah salah seorang murid al-Hasan dalam periwayatan hadits dengan demikian, sanad dari Ahmad kepada al-Hasan bersambung.
II. Yang dimaksud dengan al-Hasan dalam Gambar II tersebut adalah al-Hasan bin Abiy al-Hasan Yasar al-Bashriy. Muhammad bin Sa’id menyatakan, al-Hasan itu siqat. Kata al-Dzahabiy, bila al-Hasan meriwayatkan hadis dengan memakai haddasana, maka ulama sepakat menilai al-Hasan sebagai siqat. Tetapi bila al-Hassan meriwayatkan hadits dari Abu Hurayrah dan beberapa sahabat tertentu lainnya, maka ulama menilai al-Hasan sebagai mudallis. Kalau begitu, ke-siqat-an al-Hasan bersyarat. Syarat itu tidak terpenuhi dalam sanad yang dibahas diatas karena al-Hasan tidak menggunakan lafal haddatsana, melainkan lafal ‘an. Sampai tahap ini al-Hasan patut dicurigai telah berbuat tadlis dalam sanad diatas.
I. Al-Aswad bin Sari’ yang termuat namanya di Gambar II diatas adalah Al-Aswad bin Sari’ bin Himyar bin ‘Ubadah al-Tamimiy al-Sa’diy.wafat pada umur 42 tahun. Dia ini seorang sahabat nabi yang dikenal dengan penyair yang baik. Menurut penelitian ulama, al-Hasan al-Bashriy tidak pernah bertemu dengan al-Aswad bin Sari’. Karena sampai al-Aswad meninggalkan kota Baghdad dan tidak pernah beritanya lagi, al-Hasan masih tinggal di Madinah, dan tidak pernah bertemu dengan al-Aswad bin Sari’. Jadi, walaupun al-Hasan hidup sezaman dengan al-Aswad, tetapi al-Hasan tidak pernah menerima riwayat langsung dari al-Aswad. Ini berarti, sanad al-Hasan diatas terputus, karena sanad hadits riwayat Ahmad bin Hanbal tersebut dho’if.












DAFTAR PUSTAKA


Al-‘Asqalaniy, Ahmad bin ‘Aliy bin Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, Lebanon, Beirut : Dar al-Kotob Al-Imiyah: 2004, Jilid I, II.
Al-Bukhari, Abu’Abd Allah Muhammad bin Ismail, Al-Tarih al-Kabir, Lebanon, Beirut : Dar al-Kotob Al-Ilmiyah: 2008, Jilid II.
As-Sulaiman, Abdul Ghafar,.Mausuah Rijal al-Kutub At-Tisah, Lebanon, Beirut : Dar al-Kotob Al-Ilmiyah: 1993, Jilid I, II, V, VI.
Al-Ulama’i, Hasan Asy’ari, Melacak Hadis Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadis Nabi dari Manual hingga Digital, Semarang : RaSAIL, 2006.
Ibn Hambal, Abu Abd Allah Ahmad, مسند الامام احمد بن حنبل, Lebanon, Beirut : Dar       al-Kotob Al-Ilmiyah, tt, Juz III.
Ismail, Syuhudi, Kaedah  Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1995.
Munawwir, Ahmad Warsono, Kamus Al- Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Surabaya, Pustaka Progressy: 1997.



[1] Ahmad Warsono Munawwir, Kamus Al- Munawwir Arab-Indonesia, ( Surabaya, Pustaka Progressy:1997),  Hlm.1562
[2] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits,  (Jakarta, PT. Bulan Bintang: 1995), cet II, hlm. 127-128
[3] Hasan Asy’ari Al-Ulama’i, Melacak Hadis Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadis Nabi dari Manual hingga Digital,  (Semarang : RaSAIL, 2006), hlm. 29
[4] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, ... , hlm. 128
[5] Abu Abd Allah Ahmad Bin Hambal, مسند الامام احمد بن حنبل, (Beirut : Dar al-Kitab Al-Ilmiyah,), Juz III, hlm. 531