MAKALAH
Disusun
Guna Memenui Tugas
Mata
Kuliah : Tafsir Tarbawy
Dosen
Pengampu : Dr. Musthofa Rahman,M.Ag
Disusun
Oleh :
Ani Mutmainnah
(103111108)
Husna (103111113)
Khafidhoh luthfiana
(103111119)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
AYAT TENTANG SUBYEK PENDIDIKAN
I. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah
kalamullah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.
sebagai pedoman bagi kehidupan manusia (way of life). Al-Qur’an mengandung
beberapa aspek yang terkait dengan pandangan hidup yang dapat membawa manusia
ke jalan yang benar dan menuju kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dari beberapa aspek tersebut, secara global terkandung materi tentang kegiatan
belajar-mengajar atau pendidikan yang tentunya
membutuhkan komponen-komponen pendidikan, diantaranya yaitu pendidik dan peserta didik.
Pendidik dalam proses
pendidikan adalah salah satu faktor yang sangat penting untuk mencapai tujuan
pendidikan. Selain pendidik, peserta
didik juga mempunyai peran penting dalam proses pendidikan, tanpa adanya
peserta didik maka pendidik tidak akan bisa menyalurkan pengetahuan
yang dimilikinya sehingga proses pembelajaran tidak akan terjadi dan menghambat
tercapainya tujuan pendidikan.antara pendidik dan peserta didik harus sejalan
agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Tafsir Q.S. Ar-Rahman ayat 1-4?
2. Bagaimana Tafsir Q.S. An-Nahl ayat 43-44?
3. Bagaimana Korelasi antara Tafsir Q.S. Ar-Rahman :1-4 dan
Q.S. An-Nahl : 43-44 dengan Subyek Pendidikan?
III. PEMBAHASAN
1.
Tafsir Q.S. Ar-Rahman ayat
1-4
الرّحمن(1) علّم
القران(2) خلق الانسان (3)علّمه البيان(4)
“Tuhan yang maha pemurah. Dia-lah yang telah
mengajarkan Al-Qur’an. Dia telah menjadikan manusia. Dia telah mengajarnya
pandai berbicara”.[1]
Allah Ta’ala telah
memberitahukan tentang karunia dan rahmat-Nya bagi makhluk-Nya, dimana Dia
telah menurunkan Al Qur’an kepada hamba-hamba-Nya, memberikan kemudahan membaca
dan memahami bagi siapa saja yang Dia beri rahmat.
الرَّحْمٰنُ عَلَّمَ
الْقُرْأٰنَ yaitu Tuhan yang Maha Pemurah, Dia yang telah mengajarkan
Al Qur’an kepada Muhammad. Ayat ini bertujuan menolak ucapan penduduk Mekah,
yang mengatakan : “Muhammad itu belajar kepada seorang guru”. Oleh karena itu
surat ini diturunkan untuk merinci nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan
kepada hamba-hamba-Nya, maka disebutkan terlebih dahulu nikmat yang paling tinggi
nilainya, paling banyak manfaatnya dan paling besar faedahnya yaitu nikmat
diturunkannya Al Qur’an dan diajarkannya kepada Muhammad.[2]
Dalam konteks ayat ini,
kata الرَّحْمٰنُ juga dapat ditambahkan bahwa kaum musyrikin Mekkah tidak
mengenal siapa Ar-Rahman sebagaimana pengakuan mereka yang direkam oleh
Q.S. Al-Furqan 25: 60. Dimulainya surat ini dengan kata tersebut bertujuan juga
mengundang rasa ingin tahu mereka dengan
harapan akan tergugah untuk mengakui nikmat-nikmat dan beriman kepada-Nya.[3]
Kata عَلَّمَ
atau mengajarkan memerlukan objek. Banyak ulama yang mengatakan bahwa
yang dimaksud objek disini adalah الاْنْسَان atau manusia. Malaikat Jibril yang menerima
wahyu dari Allah yang berupa Al Qur’an untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW, disampaikan oleh beliau kepada Nabi, Malaikat Jibril tidak akan mungkin
mengajarkannya kepada Nabi kalau sebelumnya tidak mendapat pengajaran dari
Allah.
Al-Hasan
berkata “ Kata البيان “berarti
berbicara, karena konteks Al-Qur’an berada dalam pengajaran Allah Ta’ala yaitu
cara membacanya, hal ini berlangsung dengan cara memudahkan pengucapan
artikulasi serta memudahkan keluarnya huruf melalui jalannya masing-masing dari
tenggorokan, lidah dan dua buah bibir sesuai dengan keragaman artikulasi sesuai
dengan jenis hurufnya. [4]
Sedangkan
menurut Thabathaba’I, kata bayan berarti jelas, yang dimaksud disini
dalam arti potensi mengungkap yakni kalam/ucapan yang dengannya
dapat terungkap apa yang terdapat dalam benak. Menurutnya tidaklah dapat
terwujud kehidupan bermasyarakat manusia, tidak juga makhluk ini dapat mencapai
kemajuan yang mengagumkan dalam kehidupannya kecuali dengan kesadaran tentang al-kalam/pembicaraan
itu sendiri, karena dengan demikian dia telah membuka pintu untuk memeroleh dan
memberi pamahaman, tanpa itu manusia akan sama saja dengan binatang dalam hal
ketidakmampuannya mengubah wajah kehidupan dunia ini.[5]
2. Tafsir Q.S. An-Nahl ayat 43-44
وَمَا
اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلأَ رِجَلآ نٌوْحِيْ اِلَيْهِمْ فَسْئَلُوْا
اَهْلَ ألذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (43)
بِالْبَيِّنٰتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ
الذِّكْرَلِتُبَيِّنَ للِنَّاسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُوْنَ(44)
“Dan
kami tidak mengutus sebelum kamu kecuali orang-orang lelaki yang kami beri
wahyu pada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan,
jika kalian tidak mengatahui. Dengan membawa keterangan-keterangan (mu’jizat)
dan kitab-kitab dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”.[6]
وَمَا
اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلأَ رِجَلآ نٌوْحِيْ اِلَيْهِمْ = Tidakkah Kami mengutus para rasul sebelummu
kepada umat-umat untuk mengajak mereka agar mentauhidkan Aku dan melaksanakan perintah-Ku,
kecuali mereka itu adalah laki-laki dari Bani Adam yang Kami wahyukan kepada
mereka, bukan para malaikat. Ayat ini menguraikan kesesatan pandangan mereka
menyangkut kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dalam penolakan itu mereka selalu
berkata bahwa manusia tidak wajar menjadi utusan Allah, atau paling tidak dia
harus disertai oleh malaikat.
فَسْئَلُوْا
اَهْلَ ألذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ = Maka tanyakanlah kepada ahli kitab dahulu
diantara orang-orang Yahudi dan Nasrani, apakah para utusan yang diutus kepada mereka
itu manusia ataukah malaikat? Jika mereka itu malaikat silakan kalian ingkari
Muhammad SAW tetapi jika mereka itu manusia, jangan kalian ingkari dia. أهل الذكر (Ahli dzikri): Ahli
kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menerima kitab-kitab dan
ajaran dari Nabi-nabi terdahulu. Di sini tersebut Ahlu-Dzikr, orang yang
ahli peringatan, atau orang yang berpengetahuan lebih luas. Arti umum ayat
menyuruhkan orang yang tidak tahu bertanya kepada yang lebih tahu, karena ilmu
pengetahuan itu adalah umum sifatnya, berfaedah mencari kebenaran. Menurut yang
diriwayatkan oleh Mujahid dari Ibnu Abbas bahwa ahlu-dzikri di sini
maksudnya ialah Ahlul-kitab. Sebelum ahlu kitab ini dipengaruhi
oleh nafsu ingin menang sendiri, mereka akan mengakui bahwa Nabi-nabi dan Rasul-rasul
yang terdahulu itu semuanya adalah manusia belaka, manusia pilihan yang diberi
wahyu oleh Allah.
Dengan ayat ini kita
mendapat pengertian bahwasannya kita boleh menuntut ilmu kepada ahlinya, dimana
saja dan siapa saja, sebab yang kita cari ialah kebenaran.[7]
بِالْبَيِّنٰتِ
وَالزُّبُرِ = keterangan-keterangan dan
zubur, para rasul yang diutus sebelum itu semua membawa keterangan-keterangan
yakni mukjizat-mukjizat nyata yang membuktikan kebenaran mereka sebagai rasul
dan sebagian pembawa pula zubur yakni kitab-kitab yang mengandung
ketetapan-ketetapan hukum dan nasihat-nasihat yang seharusnya menyentuh hati.
Kata Zubur yakni tulisan, yang dimaksud disini adalah Taurat, Injil, Zabur dan
Shuhuf Ibrahim as.[8]
وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ
الذِّكْرَلِتُبَيِّنَ للِنَّاسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ = dan Kami turunkan padamu
adz-dzikr agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka. Kata adz-dzikr disini adalah al Qur’an, dari segi bahasa adalah
antonim kata lupa. Al Qur’an dinamai demekian karena ayat-ayatnya berfungsi mengingatkan
manusia. Pengulangan kata turun dua kali yakni وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ dan مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ mengisyaratkan
perbedaan penurunan yang dimaksud, yang pertama adalah penurunan al Qur’an
kepada Nabi Muhammad yang bersifat langsung dari Allah dan dengan redaksi
pilihan-Nya sendiri. Sedang yang kedua adalah ditujukan kepada manusia
seluruhnya.
وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُوْنَ = Supaya
mereka berfikir, yakni agar mereka berfikir dan tidak mengikuti jejak para
pendusta terdahulu sehingga mereka tidak ditimpa azab seperti yang telah
ditimpakan kepada mereka. Allah tidak membinasakan mereka dengan azab yang
cepat, akan tetapi dengan keadaan yang menakutkan seperti angin kencang, petir
dan gempa. Disini terdapat penangguhan waktu yang mungkin didalamnya terdapat
pengabaian, ini adalah salah satu dampak rahmat Allah terhadap hamba-Nya.
3.
Korelasi Antara Tafsir
Q.S. Ar-Rahman :1-4 dan Q.S. An-Nahl : 43-44 dengan Subyek Pendidikan
Surat Ar-Rahman ayat 1-4 menjelaskan tentang suatu bentuk
kasih sayang atau rahmat dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan
manusia lain berupa pengajaran. Allah-lah yang menciptakan manusia dan mengajarinya
pandai berbicara, yang dimaksud pandai bicara disini adalah mampu menjelaskan
apa yang telah dipelajari agar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Surat An-Nahl menjelaskan tentang penjelasan bahwa Allah
mengutus para Rasul untuk mengajak umat-umatnya agar mentauhidkan Allah dan
melaksanakan perintah-Nya, selain itu juga diterangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhammad sebagai peringatan bagi manusia dan supaya Nabi
memberitahukan kepada mereka apa yang diturunkan baik berupa hukum syariat dan
ikhwal umat-umat yang dibinasakan karena penentangan mereka terhadap nabi.
Berdasarkan
ayat diatas dapat diambil korelasinya yaitu dalam proses pendidikan
diperlukan subyek atau pelaku pendidikan, subyek ini bisa berupa pendidik (yang
memberikan pengajaran atau pendidikan) dan peserta didik (yang mendapat
pengajaran atau pendidikan). Seperti terdapat dalam ayat diatas, Nabi Muhammad
mendapat pelajaran dari Allah dan menyampaikan kepada umatnya, dalam hal ini
posisi Nabi Muhammad sebagai peserta didik dan juga sebagai pendidik karena
nabi menerima pelajaran sekaligus juga menyampaikan dan mengajarkannya kepada umatnya.
Selain itu kita juga diperintahkan untuk
bertanya kepada orang lain tentang sesuatu yang belum diketahui, walaupun orang
tersebut tidak beragama Islam selama itu dilakukan demi kebenaran.
Pendidik
dan peserta didik sangat erat hubungannya, karena tanpa salah satu dari mereka
maka proses pendidikan tidak akan berjalan. Dengan adanya proses
pendidikan diharapkan siswa menangkap materi yang disampaikan oleh pendidik
dengan baik dan mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan dalam kesehariannya.
Untuk menjadi seorang
pendidik yang baik maka harus mempunyai sifat-sifat seperti : Kasih sayang
kepada peserta didik, lemah lembut, rendah hati, adil, konsekuen, perkataan
sesuai dengan perbuatan, sederhana, dan menghormati ilmu yang bukan
pegangannya.[9] Begitu
pula sebaliknya seorang peserta didik juga harus mempunyai sikap tawadhu’,
ulet, sabar dan tekun dalam menuntut ilmu.
IV.
KESIMPULAN
Dalam Q.S. Ar-Rahman ayat
1-4 dan Q.S. An-Nahl ayat 43-44 terdapat hubungan yang sangart erat dengan
pendidikan, khususnya tentang subyek pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan
pengajaran yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril
tentang ketauhidan dan sebagainya dan Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk
menyampaikannya kepada umatnya.
Subyek pendidikan meliputi pendidik dan peserta
didik, keduanya merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu
diantara keduanya tidak ada maka tidak akan terjadi proses pendidikan, sehingga
tujuan pendidikan untuk mencapai insane kamil tidak akan dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al
Qur’anul Majid An Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000)
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet.
I
Hamka, Tafsir Al Azhar
Juz XIII-XIV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2008)
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, jilid 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 3 , Tafsir Al-Mishbah,
jilid 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 8
Syaikh,
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu, Lubabut Tafsir min Ibni
Katsiir,terj. M. Abdul Ghofar dan Abu Ihsan Al-Atsari, (Pustaka Imam
Asy-Syafi’I, 2008), cet.1
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan
Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2010)
[1]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya. (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet. I, hlm. 531
[2] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al
Qur’anul Majid An Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2000), hlm. 4050
[4] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubabut
Tafsir min Ibni Katsiir,terj. M. Abdul Ghofar dan Abu Ihsan Al-Atsari, (Pustaka
Imam Asy-Syafi’I, 2008), cet.1, hlm. 229-230
[6] Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 272
[9] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 84