Kamis, 05 April 2012

AYAT TENTANG SUBYEK PENDIDIKAN



MAKALAH

Disusun Guna Memenui Tugas
Mata Kuliah    : Tafsir Tarbawy
Dosen Pengampu : Dr. Musthofa Rahman,M.Ag







Disusun Oleh :
Ani Mutmainnah           (103111108)
Husna                             (103111113)
Khafidhoh luthfiana     (103111119)



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011

AYAT TENTANG SUBYEK PENDIDIKAN

I.       PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai pedoman bagi kehidupan manusia (way of life). Al-Qur’an mengandung beberapa aspek yang terkait dengan pandangan hidup yang dapat membawa manusia ke jalan yang benar dan menuju kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dari beberapa aspek tersebut, secara global terkandung materi tentang kegiatan belajar-mengajar atau pendidikan yang tentunya membutuhkan komponen-komponen pendidikan, diantaranya yaitu pendidik dan peserta didik.
Pendidik dalam proses pendidikan adalah salah satu faktor yang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan. Selain pendidik, peserta didik juga mempunyai peran penting dalam proses pendidikan, tanpa adanya peserta didik maka pendidik tidak akan bisa menyalurkan pengetahuan yang dimilikinya sehingga proses pembelajaran tidak akan terjadi dan menghambat tercapainya tujuan pendidikan.antara pendidik dan peserta didik harus sejalan agar tujuan pendidikan dapat tercapai.

II.    RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Tafsir Q.S. Ar-Rahman ayat 1-4?
2.      Bagaimana Tafsir Q.S. An-Nahl ayat 43-44?
3.      Bagaimana Korelasi antara Tafsir Q.S. Ar-Rahman :1-4 dan Q.S. An-Nahl : 43-44 dengan Subyek Pendidikan?

III. PEMBAHASAN
1.      Tafsir Q.S. Ar-Rahman ayat 1-4
 
الرّحمن(1) علّم القران(2) خلق الانسان (3)علّمه البيان(4)

Tuhan yang maha pemurah. Dia-lah yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia telah menjadikan manusia. Dia telah mengajarnya pandai berbicara”.[1]

Allah Ta’ala telah memberitahukan tentang karunia dan rahmat-Nya bagi makhluk-Nya, dimana Dia telah menurunkan Al Qur’an kepada hamba-hamba-Nya, memberikan kemudahan membaca dan memahami bagi siapa saja yang Dia beri rahmat.
الرَّحْمٰنُ عَلَّمَ الْقُرْأٰنَ yaitu Tuhan yang Maha Pemurah, Dia yang telah mengajarkan Al Qur’an kepada Muhammad. Ayat ini bertujuan menolak ucapan penduduk Mekah, yang mengatakan : “Muhammad itu belajar kepada seorang guru”. Oleh karena itu surat ini diturunkan untuk merinci nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya, maka disebutkan terlebih dahulu nikmat yang paling tinggi nilainya, paling banyak manfaatnya dan paling besar faedahnya yaitu nikmat diturunkannya Al Qur’an dan diajarkannya kepada Muhammad.[2]
Dalam konteks ayat ini, kata الرَّحْمٰنُ juga dapat ditambahkan bahwa kaum musyrikin Mekkah tidak mengenal siapa Ar-Rahman sebagaimana pengakuan mereka yang direkam oleh Q.S. Al-Furqan 25: 60. Dimulainya surat ini dengan kata tersebut bertujuan juga mengundang rasa ingin tahu  mereka dengan harapan akan tergugah untuk mengakui nikmat-nikmat dan beriman kepada-Nya.[3]
Kata  عَلَّمَ  atau mengajarkan memerlukan objek. Banyak ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud objek disini adalah الاْنْسَان  atau manusia. Malaikat Jibril yang menerima wahyu dari Allah yang berupa Al Qur’an untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, disampaikan oleh beliau kepada Nabi, Malaikat Jibril tidak akan mungkin mengajarkannya kepada Nabi kalau sebelumnya tidak mendapat pengajaran dari Allah.
Al-Hasan berkata “ Kata البيان  “berarti berbicara, karena konteks Al-Qur’an berada dalam pengajaran Allah Ta’ala yaitu cara membacanya, hal ini berlangsung dengan cara memudahkan pengucapan artikulasi serta memudahkan keluarnya huruf melalui jalannya masing-masing dari tenggorokan, lidah dan dua buah bibir sesuai dengan keragaman artikulasi sesuai dengan jenis hurufnya.         [4]
Sedangkan menurut Thabathaba’I, kata bayan berarti jelas, yang dimaksud disini dalam arti potensi mengungkap yakni kalam/ucapan yang dengannya dapat terungkap apa yang terdapat dalam benak. Menurutnya tidaklah dapat terwujud kehidupan bermasyarakat manusia, tidak juga makhluk ini dapat mencapai kemajuan yang mengagumkan dalam kehidupannya kecuali dengan kesadaran tentang al-kalam/pembicaraan itu sendiri, karena dengan demikian dia telah membuka pintu untuk memeroleh dan memberi pamahaman, tanpa itu manusia akan sama saja dengan binatang dalam hal ketidakmampuannya mengubah wajah kehidupan dunia ini.[5]

2.      Tafsir Q.S. An-Nahl ayat 43-44
   
وَمَا اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلأَ رِجَلآ نٌوْحِيْ اِلَيْهِمْ فَسْئَلُوْا اَهْلَ ألذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (43)
بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ الذِّكْرَلِتُبَيِّنَ للِنَّاسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ(44)
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu pada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kalian tidak mengatahui. Dengan membawa keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.[6]

وَمَا اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلأَ رِجَلآ نٌوْحِيْ اِلَيْهِمْ  = Tidakkah Kami mengutus para rasul sebelummu kepada umat-umat untuk mengajak mereka agar mentauhidkan Aku dan melaksanakan perintah-Ku, kecuali mereka itu adalah laki-laki dari Bani Adam yang Kami wahyukan kepada mereka, bukan para malaikat. Ayat ini menguraikan kesesatan pandangan mereka menyangkut kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dalam penolakan itu mereka selalu berkata bahwa manusia tidak wajar menjadi utusan Allah, atau paling tidak dia harus disertai oleh malaikat.
فَسْئَلُوْا اَهْلَ ألذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ  = Maka tanyakanlah kepada ahli kitab dahulu diantara orang-orang Yahudi dan Nasrani, apakah para utusan yang diutus kepada mereka itu manusia ataukah malaikat? Jika mereka itu malaikat silakan kalian ingkari Muhammad SAW tetapi jika mereka itu manusia, jangan kalian ingkari dia. أهل الذكر (Ahli dzikri): Ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menerima kitab-kitab dan ajaran dari Nabi-nabi terdahulu. Di sini tersebut Ahlu-Dzikr, orang yang ahli peringatan, atau orang yang berpengetahuan lebih luas. Arti umum ayat menyuruhkan orang yang tidak tahu bertanya kepada yang lebih tahu, karena ilmu pengetahuan itu adalah umum sifatnya, berfaedah mencari kebenaran. Menurut yang diriwayatkan oleh Mujahid dari Ibnu Abbas bahwa ahlu-dzikri di sini maksudnya ialah Ahlul-kitab. Sebelum ahlu kitab ini dipengaruhi oleh nafsu ingin menang sendiri, mereka akan mengakui bahwa Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang terdahulu itu semuanya adalah manusia belaka, manusia pilihan yang diberi wahyu oleh Allah.
Dengan ayat ini kita mendapat pengertian bahwasannya kita boleh menuntut ilmu kepada ahlinya, dimana saja dan siapa saja, sebab yang kita cari ialah kebenaran.[7]
بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِ  = keterangan-keterangan dan zubur, para rasul yang diutus sebelum itu semua membawa keterangan-keterangan yakni mukjizat-mukjizat nyata yang membuktikan kebenaran mereka sebagai rasul dan sebagian pembawa pula zubur yakni kitab-kitab yang mengandung ketetapan-ketetapan hukum dan nasihat-nasihat yang seharusnya menyentuh hati. Kata Zubur yakni tulisan, yang dimaksud disini adalah Taurat, Injil, Zabur dan Shuhuf Ibrahim as.[8]
وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ الذِّكْرَلِتُبَيِّنَ للِنَّاسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ = dan Kami turunkan padamu adz-dzikr agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. Kata adz-dzikr disini adalah al Qur’an, dari segi bahasa adalah antonim kata lupa. Al Qur’an dinamai demekian karena ayat-ayatnya berfungsi mengingatkan manusia. Pengulangan kata turun dua kali yakni وَأَنْزَلْناَاِلَيْكَ dan مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ  mengisyaratkan perbedaan penurunan yang dimaksud, yang pertama adalah penurunan al Qur’an kepada Nabi Muhammad yang bersifat langsung dari Allah dan dengan redaksi pilihan-Nya sendiri. Sedang yang kedua adalah ditujukan kepada manusia seluruhnya.
وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ = Supaya mereka berfikir, yakni agar mereka berfikir dan tidak mengikuti jejak para pendusta terdahulu sehingga mereka tidak ditimpa azab seperti yang telah ditimpakan kepada mereka. Allah tidak membinasakan mereka dengan azab yang cepat, akan tetapi dengan keadaan yang menakutkan seperti angin kencang, petir dan gempa. Disini terdapat penangguhan waktu yang mungkin didalamnya terdapat pengabaian, ini adalah salah satu dampak rahmat Allah terhadap hamba-Nya.  

3.      Korelasi Antara Tafsir Q.S. Ar-Rahman :1-4 dan Q.S. An-Nahl : 43-44 dengan Subyek Pendidikan
Surat Ar-Rahman ayat 1-4 menjelaskan tentang suatu bentuk kasih sayang atau rahmat dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan manusia lain berupa pengajaran. Allah-lah yang menciptakan manusia dan mengajarinya pandai berbicara, yang dimaksud pandai bicara disini adalah mampu menjelaskan apa yang telah dipelajari agar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Surat An-Nahl menjelaskan tentang penjelasan bahwa Allah mengutus para Rasul untuk mengajak umat-umatnya agar mentauhidkan Allah dan melaksanakan perintah-Nya, selain itu juga diterangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai peringatan bagi manusia dan supaya Nabi memberitahukan kepada mereka apa yang diturunkan baik berupa hukum syariat dan ikhwal umat-umat yang dibinasakan karena penentangan mereka terhadap nabi.
Berdasarkan ayat diatas dapat diambil korelasinya yaitu dalam proses pendidikan diperlukan subyek atau pelaku pendidikan, subyek ini bisa berupa pendidik (yang memberikan pengajaran atau pendidikan) dan peserta didik (yang mendapat pengajaran atau pendidikan). Seperti terdapat dalam ayat diatas, Nabi Muhammad mendapat pelajaran dari Allah dan menyampaikan kepada umatnya, dalam hal ini posisi Nabi Muhammad sebagai peserta didik dan juga sebagai pendidik karena nabi menerima pelajaran sekaligus juga menyampaikan dan mengajarkannya kepada umatnya. Selain itu kita juga diperintahkan untuk bertanya kepada orang lain tentang sesuatu yang belum diketahui, walaupun orang tersebut tidak beragama Islam selama itu dilakukan demi kebenaran.
Pendidik dan peserta didik sangat erat hubungannya, karena tanpa salah satu dari mereka maka proses pendidikan tidak akan berjalan. Dengan adanya proses pendidikan diharapkan siswa menangkap materi yang disampaikan oleh pendidik dengan baik dan mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan dalam kesehariannya.
Untuk menjadi seorang pendidik yang baik maka harus mempunyai sifat-sifat seperti : Kasih sayang kepada peserta didik, lemah lembut, rendah hati, adil, konsekuen, perkataan sesuai dengan perbuatan, sederhana, dan menghormati ilmu yang bukan pegangannya.[9] Begitu pula sebaliknya seorang peserta didik juga harus mempunyai sikap tawadhu’, ulet, sabar dan tekun dalam menuntut ilmu.

IV.             KESIMPULAN
Dalam Q.S. Ar-Rahman ayat 1-4 dan Q.S. An-Nahl ayat 43-44 terdapat hubungan yang sangart erat dengan pendidikan, khususnya tentang subyek pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan pengajaran yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril tentang ketauhidan dan sebagainya dan Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk menyampaikannya kepada umatnya.
Subyek pendidikan meliputi pendidik dan peserta didik, keduanya merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu diantara keduanya tidak ada maka tidak akan terjadi proses pendidikan, sehingga tujuan pendidikan untuk mencapai insane kamil tidak akan dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet. I
Hamka, Tafsir Al Azhar Juz XIII-XIV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2008)
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, jilid 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 3                                        , Tafsir Al-Mishbah, jilid 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 8
Syaikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu, Lubabut Tafsir min Ibni Katsiir,terj. M. Abdul Ghofar dan Abu Ihsan Al-Atsari, (Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008), cet.1
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif  Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010)


[1]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet. I, hlm. 531
[2] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000),  hlm. 4050
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, jilid 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 3, hlm. 277
[4] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubabut Tafsir min Ibni Katsiir,terj. M. Abdul Ghofar dan Abu Ihsan Al-Atsari, (Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008), cet.1, hlm. 229-230
[5] M. Quraish Shihab, Ibid, hlm. 278
[6] Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 272
[7] Hamka, Tafsir Al Azhar Juz XIII-XIV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2008), hlm.249
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, jilid 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 8, hlm. 340
[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif  Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 84

Tidak ada komentar:

Posting Komentar