MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas :
Mata
Kuliah : Hadits Tarbawy
Dosen
Pengampu : prof. Dr. H. M. Erfan Soebahar, MA

Disusun
oleh :
Ircham
Mashadi ( 103111118 )
Khafidhoh
Luthfiana ( 103111119 )
Lailatul
Hidayah ( 103111120 )
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
BIR
AL-WALIDAIN
I.
PENDAHULUAN
Dalam
hidup di dunia ini kita tidak bisa lepas dari orang tua, karena merekalah kita
ada di dunia ini, dan karena mereka juga kita bisa hidup enak tanpa memikirkan
betapa besar jerih payah kedua orang tua dahulu sejak kita lahir, dari mulai
kita lahir, anak-anak sampai dewasa, jasa mereka yang patut kita hargai dengan
cara kita menyayangi, menghormati dan menuruti apa saja yang mereka perintahkan
selama perintah itu tidak untuk menyekutukan Allah.
Betapa mulianya kedua orang
tua sampai-sampai ridhanya Allah tergantung ridha orang tua begitu pula
sebaliknya murkanya Allah tergantung murka orang tua. Maka tidak sepantasnya
kita membentak, menghardik apalagi sampai berbuat kasar karena itu merupakan
perbuatan yang dzalim. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang berbuat baik
kepada orang tua.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa
pengertian Birr al-Walidain ?
B. Ridha
Allah terletak pada ridha orang tua ?
C. Perbandingan
ibu dan ayah tiga banding satu ?
D. Birr
al-Walidain termasuk amal yang dicintai Allah ?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Birrul Walidain
Birr berasal dari kata
bahasa arab yang berarti taat dengan mempergaulinya secara baik atas dasar
cinta dan kasih sayang. Menurut Imam Nawawi Birr al-walidain adalah
berbuat baik kepada orang tua bersikap baik kepadanya serta melakukan hal-hal
yang membuatnya bahagia serta berbuat baik kepada teman dan sahabat-sahabat
keduanya.
Al-Imam adz-Dzahabi menjelaskan
bahwa birr al-walidain itu hanya dapat direalisasikan dengan memenuhi
tiga bentuk kewajiban yaitu pertama, menaati segala perintah orang tua
kecuali dalam maksiat. Kedua, menjaga amanat harta yang dititipkan orang
tua atau diberikan oleh orang tua. Ketiga, membantu atau menolong orang
tua apabila mereka membutuhkan.[1]
Firman
Allah dalam surat
Al-Isra’ : 23 -24
وَقَضَى
رَبُّكَ اَلاَّ تَعْبُدُوْا اِلاَّ اِيَّاهُ وَبِا الْوَالِدَيْنِ اِحْسَانَ ج
اِمَّا يَبْلُغُنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُ هُمَا اَوْ كِلاَ هُمَا فَلاَ
تَقُلْ لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا
‹٢٣› وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ
ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرًا ‹٢۴›
Artinya : “ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan hendaklah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku, kasihilah
mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.[2]
Ayat diatas mengandung dua
maksud, yang pertama adalah kita dilarang untuk menyekutukan Allah pada suatu
apapun karena menyekutukan Allah (syirik) termasuk dosa besar yang tidak akan
diampuni dosanya kecuali dengan taubatan nasukha. Yang kedua kita diperintahkan
untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, kewajiban anak berbakti kepada orang
tua bukan hanya pada waktu mereka masih hidup, bahkan setelah meninggal dunia,
anak harus tetap berbakti kepadanya. Jangan sekali-kali kita mengatakan “ah”
apalagi membentak, memukul dan yang lebih dari itu. Karena ucapan “ah”
saja sudah membawa dosa apalagi jika berbuat lebih.[3]
B. Ridha Allah terletak pada ridha orang tua
Ridha Allah merupakan puncak pencarian dari
seorang hamba yang mengabdi kepada-Nya. Beramal saleh untuk mendapatkan balasan
kebajikan dari Allah tidaklah salah, demikian pula mengabdi kepada-Nya untuk
mendambakan surga-Nya juga bukan tindakan keliru, akan tetapi tunduk dan patuh
kepada Allah untuk mengharapkan Ridha-nya itulah sebenarnya tingkat tertinggi
dari kebahagiaan orang yang mendapatkan Ridha Allah.[4]
Adapun sesuatu yang dapat membuat diri kita ridha tanpa harus diikuti dengan
perasaan murka adalah latihan jiwa untuk selalu yakin bahwa Allah SAW telah
menetapkan segala sesuatu baginya, bersabar untuk mengerjakan ketaatan dan
ibadah akan melahirkan keridhaan dari seorang hamba kepada tuhannya. Dengan
demikian, keridhaan merupakan pintu Allah yang sangat agung, surga dunia adalah
kenikmatan bagi para ahli ibadah, dan ketenangan bagi para pecinta-Nya. Maksud
ridha hamba terhadap Allah adalah ketika dia bisa menerima dan tidak membenci ketentuan
Allah yang ditetapkan baginya. Adapun ridha Allah terhadap hamba-Nya adalah
ketika dia melihatnya dalam keadaan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.[5]
Rasulullah
SAW. bersabda :
حَدَ
ثَنَا اَبُوْ حَفْصٍ عَمْرُ و بْنُ عَلِي حَدَ ثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحاَ رِثِ عَنْ
شُعْبَةَ عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَا ءٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ عَبْدِ الله بْنِ عَمْرٍو
عَنِ النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: رِ ضَا الرَّ بِّ فِيْ رِضَاالْوَالِدِ وَسَخَطُ
الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَاِلد[6]
Artinya : “Diceritakan
dari Abu hafsin Amr ibn ‘Ali, diceritakan dari Khalid ibn Harits, dari Syu’bah,
dari Ya’la ibn ‘Atha’, dari ayahnya, dari Abdillah ibn ‘Amr, dari Nabi SAW.
beliau bersabda : “Keridhaan Allah terletak kepada keridhaan kedua orang tua
dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan kedua orang tua”. (HR.at-Tirmidzy)
Nabi SAW. bersabda bahwa Ridha
Allah terletak pada ridha kedua orang tua dan demikian pula murka-Nya. Bahwa
hadist diatas jelas mengutamakan keridhaan kedua orang tua, demikian gambaran betapa
seorang anak harus memuliakan kedua orang tuanya karena memang jasa kedua orang
tua tidak bisa dihitung-hitung dan tidak bisa ditimbang dengan apapun. Karena
jasa-jasanya yang sangat besar, begitu pula tanggung jawab terhadap anaknya
tersebut. Ungkapan Nabi SAW tersebut
mengisyaratkan kepada umatnya bahwa tidak ada alasan lagi bagi seorang anak
manusia muslim untuk tidak taat dan patuh terhadap kedua orang tuanya, seorang
anak diwajibkan berbuat baik kepada orang tuanya dalam keadaan bagaimanapun,
artinya jangan sampai si anak menyinggung perasaan kedua orang tuanya, Birr
al-walidain merupakan perintah Allah yang telah menjadi ketetapan-Nya untuk
dilaksanakan oleh setiap anak manusia. Walaupun seandainya orang tua berbuat
dzalim kepada anaknya, dengan melakukan tidak semestinya, maka jangan
sekali-kali si anak berbuat tidak baik, atau membalas dan mengimbangi
ketidakbaikan tersebut, karena Allah tidak akan meridhainya.[7]
C. Perbandingan ibu dan ayah tiga banding satu
Banyak
ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang betapa berat perjuangan orang tua
membesarkan dan mendidik putra putrinya, terutama ibu yang dengan susah payah
telah mengandungnya selama 9 bulan, kemudian setelah susah payah melahirkan,
menyusuinya selama 2 tahun dengan mencurahkan seluruh perhatian dan kasih
sayangnya untuk seorang anak.
Rasulullah
SAW. Bersabda :
حَدَ ثَنَا قُتَيْبَةْ
بْنُ سَعِيْدٍ ,حَدَ ثَناَ جَرِ يْرٌ, عَنْ عُمَا رَةَ بْنِ الْقَعْقَاعْ بْنِ شُبْرُمَةَ
عَنْ اَبِي زُرْعَةْ, عَنْ اَبِي هر يرة رضي الله عنه قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ اِلَى
رسو ل الله صلى الله عليه و سلم فَقَالَ : يَا رَسُوْلُ الله مَنْ اَحَقُّ بِحُسْنِ
صَحَا بَتِي ؟ قَالَ : اُمُّكَ . قال : ثُمَّ مَنْ ؟ قال : اُمُّكَ .قال : ثُمَّ مَنْ
؟ قال : اُمُّكَ . قال : ثُمَّ مَنْ ؟ قال : ثُمَّ اَبُوْكَ (رواه البخارى)[8]
Artinya : “ Diceritakan dari Qutaibah
bin Sa’id, Jarir, dari Umaroh ibn Al Qa’qa’ ibn Syubrumah, dari Abi Zur’ah,
dari Abu Hurairah ra. Ia berkata : seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
SAW. Maka dia berkata : “wahai Rasulullah ! siapakah yang paling berhak untuk
saya pergauli dengan baik ?Nabi menjawab : “Ibumu”. Dia bertanya lagi lalu
siapa ? Nabi menjawab : “ Ibumu”. Dia bertanya lagi, lali siapa : Nabi menjawab : “ Ibumu”. Dia bertanya
lagi, lalu siapa ? “Bapakmu” (HR.Bukhori).[9]
Hadits ini menegaskan bahwa
Nabi SAW. Menunjukkan perbuatan baik kepada ibu berada diatas lainnya, dan para
sahabat biasa mengingatkan hal ini kepada umat Islam sepeninggal Nabi SAW. Ibn
Abbas menganggap perbuatan baik kepada Ibu sebagai tindakan terbaik untuk
membawa seseorang lebih dekat kepada Allah.[10]
Betapa mulianya seorang ibu
sampai-sampai perjuangan ibu itu banyak dijadikan penyair sebagai syair sebuah
lagu. Selain itu Rasulullah bersabda :
عَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم اَلْجَنَّةُ تَحْتَ اَقْدَامِ اْلاُّمَّهَاتِ
Artinya : “ Dari Anas ra. Ia berkata :
Rasulullah SAW. bersabda surga itu dibawah telapak kaki Ibu. (HR. Bukhori)
Hadits diatas memberikan
pengertian kepada kita betapa mulia derajat seorang ibu dimata anak-anaknya,
sehingga sebagai konsekuensinya anak wajib menghormati, patuh, tunduk, dan
berbakti kepadanya selama dia tidak berada dalam jalan yang bertentangan dengan
ajaran agama yang benar.[11]
D. Birr al-Walidain termasuk amal yang dicintai Allah
حَدَّثَنَا
اَبُو الْوَلِيْدِ قَالَ : حَدَّثَنَا شُعْبَةُ,قَالَ الْوَلِيْدُ بْنُ عَيْزَارِ
:اَخْبَرَنِيْ قَالَ :سَمِعْتُ اَبَا عُمْرٍو الشَّيْبَانِىَّ يَقُوْلُ
اَخْبَرَنَا صَاحِبُ هٰذِهِ الدَّارِ وَاَوْمَأَبِيَدِيْهِ اِلَى دَارِ عَبْدِاللهِ
قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَيُّ الْعَمَلِ
اَحَبُّ اِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ قَالَ : اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا ,قَالَ
: ثُمَّ اَيٌّ؟ قَالَ : ثُمَّ بِرُّ
الْوَالِدَيْنِ, قَالَ : ثُمَّ اَيٌّ ؟ قَالَ : الْجِهَادُ فِى سَبِيْلِ اللهِ .
قَالَ حَدَّثَنِى بِهِنَّ وَلَوِاسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِيْ[12]
Artinya : Diceritakan
dari Abul Walid, Ia berkata : diceritakan dari Syu’bah, bahwa Al Walid ibn
‘Aizar berkata : saya mendapat berita, saya mendengar Aba ‘umr Asy Syaibani, dia berkata: “Berkata kepadaku
orang yang punya rumah ini” dan ia memberi isyarat dengan tangannya pada rumah
Abdullah dia berkata: “Aku bertanyapada Rasulullah SAW.: “Pekerjaan apakah yang
paling disenangi oleh Allah”?. Beliau menjawab: “Sholat tepat pada waktunya”,
Abdullah berkata: “Kemudian apa”?. Beliau menjawab: “ Kemudian berbuat baik (menghormati)
kepada kedua orang tua”. Abdullah berkata: “Kemudian apa”? Beliau menjawab:
“Berjuang di jalan Allah”. Abdullah berkata: “Beliau bersabda padaku dengan
tiga hal tersebut, andaikan aku minta tambah niscaya beliau menambahinya”.[13]
Abdullah bin Mas’ud
bertanya kepada Rasulullah SAW. Mengenai perbuatan yang paling di sukai Allah
dan paling utama bagi-Nya agar dia lebih tertarik dan perhatian lebih tertarik
dan perhatianya lebih besar. Rasulullah SAW menjawab bahwa yang paling disukai
,paling utama dan pling tinggi derajatnya serta paling banyak pahalanya ialah
sholat pada waktunya .Disini Rasullullah menjelaskan bahwasanya menunaikan
sholat pada waktu yang di tentukan adalah perbuatan yang paling utama. Firman
Allah dalam Q.S.An-Nisa :103 :
اِنَّ
الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِييْنَ كِتَابًا مَّوْقُوْتًا
Artinya :
“Sesungguhnya shalat itu diwajibkan bagi orang-orang yang beriman dengan waktu
yang ditentukan”. (Q.S.An-Nisa:103)
Sholat
pada waktunya membiasakan tertib, teratur, ingat kepada Allah, serta bermunajat
dengan Allah lima kali sehari semalam akan melatih jiwa dan mendidiknya,
menguasai nafsu syahwat dan tidak memungkinkan setan membuat fitnah karena
sesungguhnya setan ingin menjaring jiwa-jiwa yang lengah dari dzikir kepada
Allah, jiwa-jiwa yang sibuk dengan urusan duniawi. Adapun menunaikan shalat di
luar waktunya akan membuat kita berdosa dan mendapat siksa bahkan mungkin
shalat kita tidak diterima.[14]
Kemudian
Abdullah bin Mas’ud bertanya lagi mengenai keutamaan derajat sesudah itu, maka
Rasulullah bersabda : “Berbuat baik kepada kedua orang tua. Berbuat baik kepada
orang tua dengan jalan patuh terhadap perintahnya, mencarikan kemaslahatan bagi
kedua orang tua, menghormatinya, melayani dengan baik dan hendaknya kita selalu
mendoakan kedua orang tua. Berikut doa untuk kedua orang tua :
اَللّٰهُمَّ
اغْفِرْلِى وَلِوَالِدَىَّ وَ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرًا
Artinya : “Ya
Allah Tuhan kami, ampunilah dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, kasih
sayangilah keduanya, sebagaimana keduanya memelihara kami sewaktu kami masih
kecil”.
Kedua orang tua kita telah memelihara kita
sejak kita masih bayi sampai dewasa, mencintai dan menyayangi kita, dan mengajari
serta mendidik. Begitu mulianya orang tua sampai-sampai dulu Nabi tidak
mengizinkan jihad dan berperang kecuali setelah mendapat izin dari kedua orang
tua dan sungguh beliau telah menentukan garis berusaha minta izin lebih dahulu
kepada orang tua sebagai jihad di jalan Allah untuk menegakkan Agama-Nya.
Abdullah bin Mas’ud kemudian bertanya lagi
kepada Nabi, tingkatan paling utama setelah berbuat baik kepada Rasulullah
menjawab : “Berjuanglah di jalan Allah”, jihad adalah pengorbanan semampunya
baik harta maupun jiwa, kedudukan dan kehormatannya, kekuatan dan fikirannya,
tulisan dan ucapannya untuk meninggikan kalimat Allah untuk menjaga agama-Nya,
menyebarluaskannya di masyarakat umum, menjaga negara yang diduduki dan diatur
secara Islam dan menjaga serta membela penduduknya dari orang-orang aniaya yang
mau berlaku jahat.
Cara mematuhi
orang tua diantaranya :
a.
Taat kepada
keduanya
b.
Menyenangkan
hati keduanya
c.
Bersikap baik
kepada orang tua walaupun mereka musyrik dan mendzolimi kita.
d.
Minta izin
sebelum melakukan sesuatu.
e.
Selalu mendokan
keduanya sekalipun telah meninggal
f.
Bersilaturrahim
dengan teman-teman kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya.[15]
IV. KESIMPULAN
Birr al-walidain
adalah berbuat baik kepada orang tua bersikap baik kepadanya serta melakukan
hal-hal yang membuatnya bahagia serta berbuat baik kepada teman dan
sahabat-sahabat keduanya.
Ridha Allah
terletak pada ridha kedua orang tua dan demikian pula murka-Nya. Hal ini
menunjukkan bahwa keridhaan orang tua merupakan hal yang paling utama.
Kemuliaan
seorang ibu dibanding ayah adalah tiga banding satu karena tugas yang diemban
ibu sangatlah berat dari mulai mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh,
merawat hingga membesarkan anak-anaknya.
Selain berbuat
baik kepada kedua orang tua, juga terdapat amalan yang disukai oleh Allah
lainnya diantaranya shalat pada waktunya dan jihad di jalan Allah. Banyak cara
yang bisa kita lakukan untuk menghormati kedua orang tua diantaranya taat
kepada mereka, menyenangkan hati keduanya dll.

DAFTAR
PUSTAKA
Ajaj, Hamzah Muhammad Shalih, Menyingkap
Tirai 55 Wasiat Rasul, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993
Al Mubarokfury, Al Imam al Khafidz
Abi Al’Ula Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzy bi Syarh
Jami’ at-Tirmidzy, Libanon : Dat al- Kotob al-Ilmiyah, 1990
Al Qistholany, Al Imam Syihabuddin
Abil Abbas Ahmad ibn Muhammad Asy-Syafi’i, Irsyadus Sary Tshirh Shahih al
Bukhory, juz.13, Libanon : Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1996
Al-Hasyimi, Muhammad Ali, The
Ideal Muslim : The true Islamic Personality as defined in the Qur’an and
Sunnah, terj. Ahmad Baidowi, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001.
Alkhuly, Muhammad ‘Abdul Aziz, Al Adabun Nabawi
khlaq Rasulullah SAW, terj. Abdullah Sonhadji, Semarang : CV. Wicaksono,
1989
Ayyub, Hasan, As Sulukul
Ijtima’i fil Islam Etika Islam (menuju kehidupan yang hakiki), terj.
Tarmana Ahmad Qasim dkk, Bandung : Trigenda karya, 1994.
Departemen Agama RI, Al Qur’an
al Karim dan terjemah Bahasa Indonesia, Kudus : Menara Kudus
Djatnika, Rochmat, sistem etika islami, Jakarta
: pustaka panjimas,1996
Iwad, Ahmad Aabdul, Mutiara
Hadis Qudsi, terj : Dewi Ariyanti, Bandung : PT. Mizan Pustaka,2008
Juwariyah, Hadits Tarbawi, Yogyakarta :
Teras, 2010
Sunarto, Achmad, Terjemah Shahih Bukhari, cet.1,
Semarang : CV. Asy-Syifa’, 1993
[1] Juwariyah, Hadits Tarbawi, (Yogyakarta
: Teras, 2010), hlm. 15-16
[2] Departemen Agama RI, Al
Qur’an al Karim dan terjemah Bahasa Indonesia, (Kudus : Menara Kudus), hlm.
427-428
[3] Hamzah Muhammad Shalih Ajaj, Menyingkap
Tirai 55 Wasiat Rasul, (Jakarta : Puataka Panjimas, 1993), hlm. 136
[4]Jawariyah Op.cit. hal 18-19
[5] Ahmad Aabdul Iwad, mutiara
hadis qudsi, terj : Dewi Ariyanti, (Bandung : PT. Mizan Pustaka,2008) hal
353
[6] Al Imam al Khafidz Abi Al’Ula
Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim Al Mubarokfury, Tuhfatul Ahwadzy bi
Syarh Jami’ at-Tirmidzy, (Libanon : Dat al- Kotob al-Ilmiyah, 1990), hlm. 22
[7] Rochmat djatnika, sistem
etika islami, (jakarta : pustaka panjimas,1996) ha l204-205
[8] Al Imam Syihabuddin Abil Abbas
Ahmad ibn Muhammad Asy-Syafi’i Al Qistholany, Irsyadus Sary Tshirh Shahih al
Bukhory, juz.13, (Libanon : Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1996), hlm. 5
[9] Juwariyah, hlm. 20
[10] Muhammad Ali Al-Hasyimi, The
Ideal Muslim : The true Islamic Personality as defined in the Qur’an and
Sunnah, terj. Ahmad Baidowi, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001), hlm. 80
[11] Juwariyah, Op.cit, hlm.22
[12] Al Imam Syihabuddin Abil Abbas
Ahmad ibn Muhammad Asy-Syafi’i Al Qistholany, Irsyadus Sary Tshirh Shahih al
Bukhory, juz.13, Op.cit, hlm. 4
[13] Achmad Sunarto dkk, Terjemah
Shahih Bukhari, cet.1, ( Semarang : CV. Asy-Syifa’, 1993), hlm.1
[14] Muhammad ‘Abdul Aziz Alkhuly, Al
Adabun Nabawi khlaq Rasulullah SAW, terj. Abdullah Sonhadji, (Semarang :
CV. Wicaksono, 1989), hlm.152
[15] Hasan Ayyub, As Sulukul
Ijtima’i fil Islam Etika Islam (menuju kehidupan yang hakiki), terj.
Tarmana Ahmad Qasim dkk, ( Bandung : Trigenda karya, 1994), hlm. 335-342
ijin copas ya shbti:)
BalasHapusArtikel bagus, trimakasih
BalasHapus