LEMBAGA
DAKWAH ISLAM INDONESIA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Perkembangan
Pemikiran Islam
Dosen Pengampu: Prof. Achmadi
Disusun oleh:
Khafidhoh Luthfiana (103111119)
Lailatul Hidayah (103111120)
Lathifatus Syifa (103111121)
Mahfud Sadzali (103111122)
Malihah (103111123)
Maria Ulfa (103111124)
Maulida Khoirun Ni’mah (103111125)
Mualifin (103111126)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
LEMBAGA
DAKWAH ISLAM INDONESIA
I.
PENDAHULUAN
Dalam sejarah Islam Indonesia terdapat polarisasi umat Islam yang amat
kaya. Sejak zaman kemerdekaan, Islam sudah menunjukkan beraneka ragam wajah,
yang di presentasikan oleh ormas maupun orpol. Oleh para pengantar Islam
keragaman ini di identifikasikan dengan berbagai nama atau lebel. Ada Islam
tradisional, yaitu agama Islam yang cara pelaksanaannya masih dicampur dengan
tradisi-tradisi daerah setempat, Islam modernis yaitu Islam sangat modern
dengan menggunakan logika untuk menyikapi berbagai masalah yang ada dalam Islam
dan berdasarkan Alquran hadist. Islam puritan (murni), Islam ekstrem, Islam
abangan, Islam nasionalis dan lain sebagainya. Adanya sekian sebutan di
atas-meskipun bukan berarti terdapat polarisasi yang tegas, namun cukup
menjelaskan pluralitas umat muslim di Indonesia (Imdadun R, 2005:130).
Di kalangan umat beragama di Indonesia terdapat aliran-aliran agama :
yang diantaranya dianggap menyimpang oleh beberapa masyarakat muslim di
Indonesia, sepertihalnya yang di ungkapkan oleh Hartono Ahmad Jaiz dalam
bukunya tentang aliran dan paham sesat di Indonesia. Ada banyak paham sesat
diantaranya Ingkar sunnah, Ahmadiyah, Jama’ Tabligh, Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (LDII) dan lain- lain. Akan tetapi, dalam makalah ini akan dijelaskan
lebih jauh tentang paham sempalan LDII.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana Sejarah Berdirinya Lembaga
Dakwah Islam Indonesia?
B.
Bagaimanakah Bentu-Bentuk
Pemikiran Lembaga Dakwah Islam Indonesia?
C.
Bagaimanakah Perkembangan Pemikiran Lembaga Dakwah Islam
Indonesia?
III.
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Dan Sejarah Berdirinya
Lembaga Dakwah Islam Indonesia
Gerakan keagamaan Islam kontemporer di Indonesia
dilatarbelakangi beberapa faktor laten, yaitu: pertama, keinginan
melakukan pemurnian ajaran Islam. kedua, ingin mendobrak kemapanan dalam
beragama terutama terhadap struktur taqlid berbagai kelompok masyarakat Islam
selama ini. Mereka menghendaki agar setiap anggota masyarakat menjadi pemimpin
bagi dirinya sendiri, terutama dalam rangka memahami ajaran agama. Oleh sebab
itu, para pengikut gerakan-gerakan tersebut didorong untuk menggali ajaran
Islam secara bebas dari sumbernya, tanpa harus terpaku pada interpretasi para
tokoh agama yang oleh kebanyakan orang dianggap telah mapan. Ketiga,
gerakan keagamaan itu berkeinginan menciptakan masyarakat ideal. Dalam
pandangan gerakan ini, masyarakat ideal yang dimaksud adalah masyarakat yang
diatur melalui kepemimpinan tunggal. Juga, masyarakat ideal dalam bayangan
gerakan keagamaan itu adalah masyarakat yang terbebaskan dari pengaruh barat.
Dari alasan ini, gerakan keagamaan kontemporer menawarkan Islam sebagai
alternatif. Dalam pandangan mereka, ajaran Islam memiliki totalitas, dalam arti
bahwa Islam bukan hanya ajaran yang menyangkut sistem kepercayaan dan ritus
semata, melainkan ajaran yanga meliputi aqidah, syari’at, dan nizham (way
of life).[1]
Pada usia 30 tahun, Nurhasan Al-Ubaedah mulai berada di
Mekah, sampai 10 tahun lamanya. Dua perguruan yang ditinggali Nurhasan
Al-Ubaedah selama belajar agama di Mekah adalah Rukbat Naqsyabaniiah (nama ini
tidak ada hubungannya dengan tarekat naqsyabandiah) dan sebuah perguruan di
Desa Syamiah. Madrasah yang bernama Darul Hadits adalah tempat di mana ia
mendalami Al-Qur’an dan Hadits. Guru yang ia ikuti adalah Syekh Abu Samah dari
Mesir, disamping itu juga berguru kepada Syekh Abu Umar Hamdan.
Madrasah Darul Hadits, tempat di mana Nurhasan
Al-Ubaedah cukup lama belajar agama, nampaknya yang paling banyak mempengaruhi
pikiran-pikirannya. Di pesantren tersebut konon mulai tertanam fanatisme yang
mendalam terhadap ajaran-ajaran kebenaran sesuai dengan petunjuk al-qura’an dan
Hadits Nabi SAW. hingga pada saatnya Nurhasan al-Ubaedah kembali ke tanah air,
hanya ajaran dari kedua sumber itulah, hampir tidak ada yang lain lagi yang
dijadikan pegangan dalam rangka mengamalkan agamanya dan menyebarluaskan
pengetahuannya.[2]
Perbedaan dengan kelompok Islam lainnya terletak pada pemahaman
terhadap beberapa nash al-qur’an dan hadits nabi SAW, terutama yang menyangkut
soal kepemimpinana ummat (keamiran), bai’at dan arti Islam. Tumbuhnya perbedaan
tersebut diawali oleh penilaian terhadap kondisi obyektif ummat, yanga sering
diungkapkan Kyai Nurhasan Al-Ubaedah-selaku pendiri Islam Jama’ah kepada para
kolega dan murid-muridnya. Menurutnya, umat Islam di Indonesia sudah lama
terpecah-pecah menjadi sekian banyak golongan. Keadaan ini katanya tepat dengan
diramalkan oleh Rasulullah SAW, bahwa ”pada suatu saat nanti ummatku akan
terpecah-pecah menjadi 71 golongan. Dari sekian banyak golongan itu tidak ada
yang selamat kecuali satu, yakni yang berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnahku”.
Sepengetahuan Nurhasan tidak ada satu kelompok Islampun yang menunjukkan
sebagai pengamal Qur’an dan Sunnah Nabi secara murni. Adapun kesalahan umat ia
tunjukkan, antara lain: Pertama, terlalu berbelit-belitnya pendefinisian
tentang Islam. kedua, kesalahan umat Islam adalah tidak bisa mencetak
pemimpin yang layak dihormati dan dipercaya sebagai seorang amir.[3]
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) ini adalah nama
baru dari sebuah aliran sesat terbesar di Indonesia, yang selama ini sudah
sering berganti nama karena sering dilarang oleh pemerintah Indonesia. Lembaga
ini didirikan oleh mendiang Nur Hasan Ubaidah Lubis (Luar Biasa), pada awalnya
bernama Darul Hadits, pada tahun 1951. Karena ajarannya meresahkan masyarakat
Jawa Timur, maka Darul Hadits dilarang oleh PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan
Masyarakat) Jawa Timur. Setelah di larang, Darul Hadits itu berganti nama
dengan Islam Jama’ah. Waktu aliran sesat ini berganti nama dengan Islam
Jama’ah, banyak artis-artis terkenal di ibu kota (Jakarta) yang masuk ke dalam
ajaran sesat ini, diantaranya Bunyamin S, Ida Royani, Kinan Nasution dan
lain-lin. Para artis dan penyanyi itu masuk aliran sesat ini karena tertarik
dengan ajaran tebus dosanya.[4]
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) didirikan di
Surabaya pada tanggal, 3 Januari 1972, setelah mengalami perubahan nama dari
Lembaga Karyawan Dakwah Islam Indonesia, yaitu Lemkari, namun dengan nama Organisasi
Karatido Indonesia. langkah itu merupakan realisasi keputusan musyawarah besar
IV Lekari di Jakarta 1990. Lemkari itu sendiri merupakan organisasi baru
sebagai wadah kegiatan organisasi Islam Jamaah yang telah dibubarkan oleh oleh Kejaksaan
Agung Pada 1971. Islam Jamaah itu sendiri merupaka nama baru setelah sebelumnya
lebih dikenal dengan nama Darul Hadits,
yang telah dibubarkan. Sementara itu mereka di Jawa Tengah telah pula
mendirikan Yakari (Yayasan Karyawan Islam) pada 1972, untuk tujuan yang sama.
Di kemudian hari organisasi ini bergabung dengan Golkar. Tidak bisa dipungkiri
bahwa LDII pada hakikatnya tetap sama dengan ajaran Islam Jamaah, yang
didirikan oleh Nurhasan Al-Ubaidah.[5]
B.
Bentuk-Bentuk Pemikiran
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)
Pokok-pokok ajaran LDII yaitu :
1.
Orang Islam di luar kelompok
mereka adalah kafir dan najis, termasuk kedua orang tua sekalipun.
2.
Kalau ada orang di luar kelompok
mereka melakukan shalat di masjid mereka, maka bekas tempat shalatnya dicuci
karena dianggap sudah terkena najis.
3.
Wajib taat kepada amir atau imam. “Tidak
ada Islam tanpa jama’ah, tidak ada jama’ah tanpa keamiran, tidak ada keamiran
tanpa ketaatan.”
4.
Mati dalam keadaan belum bai’at
kepada amir atau imam LDII maka akan mati jahiliyyah (mati kafir).
5.
Al-Qur’an dan Hadits yang boleh
diterima adalah yang manqul (yang keluar dari mulut imam atau amir mereka).
Yang keluar/diucapkan oleh mulut-mulut yang bukan imam/amir mereka maka haram
untuk diikuti. “Barang siapa berkata mengenai kitab Allah dengan pendapatnya
(tanpa ilmu), maka dia salah walau benar.”
6.
Haram mengaji Al-Qur’an dan Hafizd
kecuali kepada imam/amir mereka.
7.
Dosa bisa ditebus kepada sang
amir/imam, dan besarnya tebusan tergantung besar-kecilnya dosa yang diperbuat,
sedangkan yang menentukannya adalah imam/amir.
8.
Harus rajin membayar infaq,
shadaqah dan zakat kepada amir/imam mereka, dan haram menegluarkannya kepada
orang lain.
9.
Harta benda di luar kelompok
mereka diamggap halal untuk diambil atau dimiliki walaupun dengan cara
bagaimanapun memperolehnya seperti mencuri, merampok, korupsi, menipu, dan
lain-lain, asal tidak ketahuan/tertangkap. Dan kalau berhasil menipu orang
Islam di luar golongan mereka, dianggap berpahala besar. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk kamu ...........”(al-Baqarah:29).
10.
Bila mencuri harta orang lain yang
bukan golongan LDII lalu ketahuan, maka salahnya bukan mencurinya itu, tetapi
kenapa mencuri kok ketahuan.
11.
Harta, uang zakat, infaq, shadaqah
yang sudah diberikan kepada amir/imam, haram ditanyakan kembali catatannya atau
digunakan kemana uang zakar tersebut.
12.
Haram membagikan daging qurban
atau zakat fitrah kepada orang Islam di luar kelompok mereka.
13.
Haram shalat di belakang imam yang
bukan kelompok mereka, kalaupun terpaksa sekali, tidak usah berwudhu karena
shalatnya harus diulang kembali.
14.
Haram nikah dengan orang di luar
kelompok.
15.
Perempuan LDII kalau mau bertamu
ke rumah orang yang bukan kelompok mereka, maka memilih waktu pada saat haid, karena badan dalam keadaan kotor
sehingga ketika di rumah non LDII yang dianggap najis itu tidak perlu dicuci
lagi.
16.
Kalau ada orang di luar kelompok
mereka yang bertamu di rumah mereka, maka bekas tempat duduknya dianggap kena
najis.[6]
C.
Perkembangan Pemikiran Lembaga Dakwah
Islam Indonesia
Seiring dengan berjalannya waktu,
lambat laun pemikiran sesat LDII sedikit demi sedikit berubah. Hal ini bisa
dilihat dari berbagai aspek diantaranya :
1. LDII
Tak Lagi Menutup Diri, seperti yang termuat dalam surat kabar Bandung
“Galamedia” menyatakan bahwa keberadaan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) sebagai salah
satu ormas Islam, kini tidak lagi menjadi ormas yang eksklusif. LDII lebih
membuka diri kepada siapa pun, khususnya dalam menyampaikan dakwah.
Demikian
disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) LDII Jawa Barat, H. Bahrudin,
M.M. Menurutnya, masih
adanya anggapan masyarakat yang menyebutkan LDII umumnya mereka tidak
mengetahui keberadaan dakwah LDII sebenarnya. "Sejak 2009 lalu, LDII sudah
berubah paradigma khususnya dalam berdakwah, terlebih sebagai ormas Islam yang
dapat merangkul semua kalangan.
LDII kini tidak menggunakan atau menganut sistem keamiran yang bersifat
tertutup.
Masih menurut Bahrudin, pihaknya tidak menganggap umat Islam di luar LDII sebagai kafir atau najis sehingga masjid LDII terbuka untuk umum. Selain itu, pihaknya pun bersama ormas Islam lainnya mengikuti landasan Al-Quran dan Hadis. Terlebih lagi, ada istilah masjid LDII karena semua masjid rumah Allah yang harus dimakmurkan.[7]
Masih menurut Bahrudin, pihaknya tidak menganggap umat Islam di luar LDII sebagai kafir atau najis sehingga masjid LDII terbuka untuk umum. Selain itu, pihaknya pun bersama ormas Islam lainnya mengikuti landasan Al-Quran dan Hadis. Terlebih lagi, ada istilah masjid LDII karena semua masjid rumah Allah yang harus dimakmurkan.[7]
2. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) menyatakan bahwa
organisasi tersebut bukan termasuk aliran sesat. Sebab LDII telah diakui oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi penganut paradigma baru yang
tertuang dalam kebijakan dan program-programnya termasuk membina serta
meluruskan orang-orang yang masih punya paham Islam Jamaah. Sekretaris LDII
Provinsi Jateng, H M AS Tri Wardoyo SE menyampaikan bahwa LDII secara tegas
tidak pernah meneruskan apalagi mengajarkan ajaran Islam Jamaah. Hal ini diperkuat dengan adanya Surat
Keputusan Komisi Fatwa MUI No 03/Kep/KF-MUI/IX/2006 tentang LDII pada 4
September 2006 disebutkan, lembaga tidak menggunakan ataupun menganut sistem
keamiran. LDII juga tidak menganggap umat muslim di luar kelompok mereka
sebagai kafir atau najis, dan bersedia bersama dengan ormas-ormas lainnya
mengikuti landasan berpikir keagamaan sebagaimana yag ditetapkan MUI.
Sebagai salah satu usahanya, sesuai
saran MUI, LDII telah melakukan Rakernas pada Maret 2007 di Jakarta guna
menyamakan persepsi. Salah satu hasil Raernas menyebutkan bahwa arah dan
strategi LDII adalah menuju organisasi yang terakreditasi sebagai organisasi
pembelajar. [8]
IV.
KESIMPULAN
Lembaga dakwah Islam Indonesia ini
adalah nama baru sebuah aliran sesat terbesar di Indonesia, yang selama ini
sudah berganti nama karena sering dilarang
oleh pemerintah Indonesia. Pendirinya adalah Nur Hasan Ubaidah Lubis
(Luar Biasa), pada awalnya bernama Darul Hadits pada tahun 1951. Akan tetapi, karena ajaran
aliran ini meresahkan masyarakat darul hadist sempat berganti nama menjadi
Islam Jama’ah, LEMKARI (Lembaga Karyawan Dakwah Indonesia) dan kini berubah
lagi menjadi LDII.
Banyak dari ajaran LDII yang
menyesatkan dan dapat mengganggu aqidah umat islam, seperti menganggap Orang
Islam di luar kelompok mereka adalah kafir dan najis, Mati dalam keadaan belum bai’at kepada amir atau imam LDII maka
akan mati jahiliyyah (mati kafir), Kalau ada orang di luar kelompok mereka melakukan shalat di
masjid mereka, maka bekas tempat shalatnya dicuci karena dianggap sudah terkena
najis,dan masih banyak lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Jaiz,
Hartono, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2002
Ahmad Ridla,
Shalih, Perkenalan Dengan Inkar Sunnah, Jakarta: Gema Insani Press, 1991
Arifin, Syamsul,
Studi Agama Perspektif Sosiologis dan
Isu-Isu Kontemporer, Malang: Umm Press, 2009
Aziz, Abdul,
dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1989
Djalaluddin,
M. Amin, Capita Selekta Aliran-Aliran Sempalan di Indonesia, Jakarta:
LPPI, 2002
M. Nuh, Nuhrison, Aliran/Faham Keagamaan dan Sufisme
Perkotaan, Jakarta:
CV. Prasasti, 2009
Su’ud, Abu, Islamologi:
Sejarah, Ajaran, dan Peranannya Dalam Peradaban Umat Mausia, Jakarta:
Rineka Cipta, 2003
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997
http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/06/nasa.html
diakses pada Rabu, 12 Juni 2013 pukul 11.32 WIB
[1]
Syamsul Arifin, Studi Agama Perspektif
Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer, (Malang: Umm Press, 2009), hlm.
181
[2]
Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1989), Cet. I, hlm. 22-24
[3]
Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, hlm. 29-30
[4]
Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2002), Cet. IV, hlm. 73
[5] Abu
Su’ud, Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya Dalam Peradaban Umat
Mausia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), Cet. I, hlm. 263
[6] M.
Amin Djalaluddin, Capita Selekta Aliran-Aliran Sempalan di Indonesia,
(Jakarta: LPPI, 2002), hlm. 26-28
[8] http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/06/nasa.html diakses pada Rabu, 12 Juni 2013
pukul 11.32 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar