PERSAMBUNGAN SANAD
(
اتّصل
سند )
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Naqd al-Hadits
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. H. Moh. Erfan Soebahar, M.Ag
Di
susun oleh:
Wulan Agustina 103111105
Khafidhoh Luthfiana 103111119
Syaiful Anwar 103111132
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2013
PERSAMBUNGAN
SANAD
I.
PENDAHULUAN
Bismillaahirrohmaanirrohim hampir seluruh umat
Islam telah mengakui, bahwa hadis Nabi adalah salah satu sumber ajaran Islam
setelah Al-Qur’an karna hadis Nabi memiliki latar belakang sejarah yang berbeda
dengan Al-Qur’an, maka ulama hadis mulai zaman Nabi telah memberikan perhatian
yang khusus terhadap hadis Nabi.
Ulama sangat besar perhatiannya kepada sanad hadis.
Disamping juga matn hadis. Hal ini terlihat, sedikitnya, pada:
pernyataan-pernyataan ulama uyang menyatakan bahwa sanad merupakan
bagian tak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadis, banyak karya tulis
ulama berkenanan dengan sanad hadis, dan dalam praktek, apabila ulama
menghadapi suatu hadis, maka sanad hadis merupakan salah satu bagian
yang mendapat perhatian khusus, dengan demikian, sanad hadis memiliki
kedudukan yang sangat penting.
Sanad hadis memiliki kedudukan sangat yang
sangat penting, sebab utamanya dilihat dari dua sisi, yaitu: 1. dilihat dari
kedudukan hadis sebagai sumbar ajaran Islam, 2. Dan dilihat dari sisi sejarah
hadis. Dengan demikian sangatlah penting mengkaji mengenai sanad hadis,
baik itu dalam segi persambungan sanad, kualitas periwayat hadis maupun
tata cara penerimaan dan penyampaian hadis. Yang sedikit banyak akan dibahas dalam makalah ini.
II. PENGERTIAN SANAD BERSAMBUNG
Sanad
bersambung atau Itishal, menurut bahasa ittishal ( اتّصل ) barasal dari kata wa shala ( وصل
)yang memiliki arti sampai, berkelanjutan[1].
Sedangkan menurut istilah Sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat
dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat sebelumnya,
keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu.
Jadi seluruh rangkaian periwayat dalam sanad mulai dari periwayat yang
disandari oleh al-Mukharrij (penghimpun riwayat hadits dalam karya
tulisannya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang
bersangkutan dari Nabi bersambung dalam periwayatan.
Ulama hadits berbeda pendapat tentang
nama hadits yang sanad-nya bersambung. Al-Khatib al-Baghdadiy menamainya
sebagai hadits musnad. Ibn al-Shalah dan al-Nawawy menyebutnya dengan
hadits yang muttashil atau maushul yaitu hadits yang bersambung sanad-nya
baik persambungan itu sampai kepada Nabi maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi
saja.
III. KRITERIA PERSAMBUNGAN SANAD
Untuk mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad,
biasanya ulama hadits menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
1. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
2. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat :
a. Melalui kitab-kitab Rijal al-Hadits, misalnya kitab Tahdzib
al-Tahdzib (susunan Ibnu Hajar al-Asqalaniy), dan kitab al-Kasyf
(susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby).
b. Apakah antara periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad
itu terdapat hubungan : a). Kesezamanan
pada masa hidupnya dan b). guru-murid dalam periwayatan hadits.
3. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat
yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasaniy,
haddatsana, akhbarana, ‘am, anna, atau kata-kata lainnya.[2]
Jadi, suatu sanad hadits barulah dapat dikatakan bersambung
apabila:
a. Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqat (adil dan dhabith).
1) Perawi yang adil adalah rawi yang menegakkan agama Islam, serta
dihiasi akhlak yang baik, selamat dari kefasikan juga hal-hal yang merusak muru’ah.
2) Perawi yang dhabith adalah rawi tersebut hafal betul
dengan apa yang ia riwayatkan dan mampu menyampaikannya dengan baik hafalannya,
ia juga memahami betul bila diriwayatkan secara makna, ia memelihara hafalan
dengan catatan dari masuknya unsur perubahan huruf dan penggantian serta
pengurangan di dalamnya bila ia menyampaikan dari catatannya.[3]
b. Antara masing-masing periwayat dengan periwayat sebelumnya dalam
sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah
menurut ketentuan Tahammul wa ada’ al-hadits.[4]
Dalam hubungannya dengan tidak terpenuhinya unsur
sanad bersambung, secara garis besar Ibn Hajar al-‘Asqalany membagi hadis dha’if
kepada 5 macam yakni hadits Mu’allaq
(hadits yang periwayat di awal sanad-nya gugur (terputus) seorang atau
lebih secara berurut), hadits mursal (hadits yang disandarkan langsung
kepada Nabi oleh al-Tabi’in, baik al-Tabi’iy besar maupun al-Tabi’iy
kecil tanpa terlebih dahulu hadits itu disandarkan kepada sahabat Nabi), hadits
mu’dhal (hadits yang terputus sanadnya dua orang periwayat atau lebih
secara berurut), hadits munqathi’ (hadits yang sanad-nya terputus
di bagian mana saja baik di bagian periwayat yang berstatus sahabat maupun
periwayat yang bukan sahabat) dan hadits mudallas (hadits yang terdapat tadlis
atau terjadi persembunyian (pengguguran) periwayat. Kelima macam istilah ini
menerangkan letak dan jumlah periwayat yang terputus dalam sanad.
IV. APLIKASI PERSAMBUNGAN SANAD
Berikut ini dikemukakan contoh dari Sanad
Riwayat Ahmad dari Al-Aswad bin Sari’ tentang pernyataan Pujian.
حَدَّثَنَا عبدالله حدَّثَنِى أَبِى
ثَنَا رُوْحٌ قَالَ : ثَنَا عَوْفٌ عَنِ الْحَسَنِ عَنِ الْاَسْوَدِ بْنِ سَرِيْعٍ
قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ الله ، أَلاَ أَنْشُدُكَ مَحَامِدَ حَمِدْتُ بِهَا
رَبّى تَبَارَكَ وَتَعَالٰى ؟ قَالَ : (( أَمَا اِنَّ رَبَّكَ عَزَّ وَجَلَّ
يُحِبُّ الْحَمْدُ ))[5]
Lanngkah pertama
Mencatat nama-nama periwayat atau bisa
buat skema persambungan sanad sebagai berikut:
Gambar. II
Sanad
Hadis Riwayat Ahmad dari Al- Aswad Bin Sari’
Langkah kedua dan ketiga; menelusuri riwayat
nama-nama periwayat dan meneliti kata-kata yang menghubungkan sanad antar para perawi, sebagaimana
berikut;
Pada Gambar II terlihat nama-nama periwayat dan kata-kata yang
menghubungkan antara masing-masing periwayat itu dengan periwayat yang terdekat
dalam sanad hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal diatas. Berikut ini dikemukakan secara
ringkas identitas para periwayat tersebut dan hubungan mereka masing-masing
dengan periwayat terdekat sebelumnya yang terdapat dalam sanad hadits itu. Hal ini dimaksudkan untuk dapat diketahui apakah sanad tersebut bersambung ataukah tidak
bersambung.
V. Yang dimaksud dengan nama Ahmad
dalam Gambar II diatas ialah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Habil bin Asad
al-Syaybaniy Abu ‘Abd Allah al-Marzawiy ( wafat 164-241 H ). Dia, yang
berfungsi juga sebagai al-mukharrij, telah
menerima hadits tersebut dari Ruh (روح.) Ahmad memang salah
seorang murid dari Ruh (روح) dalam periwayatan hadits. Ulama kritikus periwayat hadits
menilai Ahmad sebagai seorang yang siqat.
Tidak ada seorang ulama pun yang melontarkan celaan terhadap diri Ahmad.
Dalam Gambar II tampak, Ahmad menerima hadits diatas dari Ruh dengan cara al-sama’ dilihat menggunakan kata حد ثنا
. Kalau begitu, sanad dari Ahmad kepada Ruh (روح)
bersambung.
IV. Nama Ruh (روح) yang termuat
dalam Gambar II diatas adalah Ruh bin ‘Ubadah bin al-‘Ala bin Hasan bin
al-Qaysiy (wafat 205 H). Dia salah seorang murid ‘Awf. Para kritikus periwayat
hadits menilai Ruh sebagai seorang periwayat yang siqat. Tidak ada ulama yang melontarkan celaan terhadap diri Ruh.
Dalam Gambar II terlihat, Ruh menerima hadits diatas dari ‘Awf dengan cara al-sama’ dilihat dari penggunaan kata حد ثنا. Dengan demikian, sanad
dari Ruh kepada ‘Awf bersambung. Ini berarti juga, sanad dari Ahmad sampai kepada ‘Awf bersambung.
III. Yang dimaksud dengan ‘Awf
dalam Gambar II diatas ialah ‘Awf bin Abiy Jamilah al-Abdiy al-A’rabiy (wafat
146 H, ada yang menyatakan 147 H). Dia adalah salah seorang murid al-Hasan
al-Bashriy. Para kritikus hadits menilai ‘Awf sebagai seorang periwayat yang siqat. Ulama tidak ada yang mencela
pribadi ‘Awf. Dalam Gambar II terlihat ‘Awf menerima hadis dari al-Hasan secara
‘an‘anah. Walaupun ‘Awf memakai cara ‘an‘anah tetapi sanad
dari ‘Awf kepada al-Hasan karena, [a] ‘Awf seorang periwayat yang siqat
yang tidak pernah terbukti memalakukan tadlis;
dan [b] ‘Awf adalah salah seorang murid al-Hasan dalam periwayatan hadits
dengan demikian, sanad dari Ahmad kepada al-Hasan bersambung.
II. Yang dimaksud dengan al-Hasan dalam Gambar II tersebut
adalah al-Hasan bin Abiy al-Hasan Yasar al-Bashriy. Muhammad bin Sa’id
menyatakan, al-Hasan itu siqat. Kata al-Dzahabiy, bila al-Hasan meriwayatkan
hadis dengan memakai haddasana, maka ulama sepakat menilai al-Hasan
sebagai siqat. Tetapi bila al-Hassan meriwayatkan hadits dari
Abu Hurayrah dan beberapa sahabat tertentu lainnya, maka ulama menilai al-Hasan
sebagai mudallis. Kalau begitu, ke-siqat-an
al-Hasan bersyarat. Syarat itu tidak terpenuhi dalam sanad yang dibahas
diatas karena al-Hasan tidak menggunakan lafal haddatsana, melainkan
lafal ‘an. Sampai tahap ini al-Hasan patut dicurigai telah berbuat tadlis
dalam sanad diatas.
I. Al-Aswad bin Sari’ yang termuat namanya di Gambar II diatas adalah
Al-Aswad bin Sari’ bin Himyar bin ‘Ubadah al-Tamimiy al-Sa’diy.wafat pada umur
42 tahun. Dia ini seorang sahabat nabi yang dikenal dengan penyair yang baik.
Menurut penelitian ulama, al-Hasan al-Bashriy tidak pernah bertemu dengan
al-Aswad bin Sari’. Karena sampai al-Aswad meninggalkan kota Baghdad dan tidak
pernah beritanya lagi, al-Hasan masih tinggal di Madinah, dan tidak
pernah bertemu dengan al-Aswad bin Sari’. Jadi, walaupun al-Hasan hidup sezaman
dengan al-Aswad, tetapi al-Hasan tidak pernah menerima riwayat langsung dari
al-Aswad. Ini berarti, sanad al-Hasan diatas terputus, karena sanad hadits
riwayat Ahmad bin Hanbal tersebut dho’if.
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Asqalaniy, Ahmad bin ‘Aliy bin Hajar, Tahdzib
al-Tahdzib, Lebanon, Beirut : Dar al-Kotob Al-Imiyah:
2004, Jilid I, II.
Al-Bukhari,
Abu’Abd Allah Muhammad bin Ismail, Al-Tarih
al-Kabir, Lebanon, Beirut : Dar al-Kotob Al-Ilmiyah: 2008, Jilid II.
As-Sulaiman, Abdul Ghafar,.Mausuah
Rijal al-Kutub At-Tisah, Lebanon, Beirut : Dar al-Kotob Al-Ilmiyah: 1993, Jilid I,
II, V, VI.
Al-Ulama’i, Hasan Asy’ari,
Melacak Hadis Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadis Nabi dari Manual hingga
Digital, Semarang : RaSAIL, 2006.
Ibn Hambal, Abu Abd Allah Ahmad, مسند الامام احمد بن حنبل, Lebanon, Beirut : Dar
al-Kotob Al-Ilmiyah, tt, Juz III.
Ismail, Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis :
Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta : PT.
Bulan Bintang, 1995.
Munawwir, Ahmad Warsono, Kamus
Al- Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Surabaya, Pustaka Progressy: 1997.
[1] Ahmad
Warsono Munawwir, Kamus Al- Munawwir Arab-Indonesia, ( Surabaya,
Pustaka Progressy:1997), Hlm.1562
[2] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits,
(Jakarta, PT. Bulan Bintang: 1995), cet II, hlm. 127-128
[3] Hasan
Asy’ari Al-Ulama’i, Melacak Hadis Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadis Nabi
dari Manual hingga Digital, (Semarang
: RaSAIL, 2006), hlm. 29
[4] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan
Sanad Hadis, ... , hlm. 128
[5] Abu Abd Allah Ahmad
Bin Hambal, مسند الامام احمد بن حنبل, (Beirut : Dar al-Kitab Al-Ilmiyah,), Juz III, hlm. 531
Tidak ada komentar:
Posting Komentar