Selasa, 09 Juli 2013

NAQD AL-HADITS

PERSAMBUNGAN SANAD
 اتّصل سند   )

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Naqd al-Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Moh. Erfan Soebahar, M.Ag



Di susun oleh:

Wulan Agustina                    103111105
Khafidhoh Luthfiana           103111119
Syaiful Anwar                       103111132





FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013




PERSAMBUNGAN SANAD

I.         PENDAHULUAN
Bismillaahirrohmaanirrohim hampir seluruh umat Islam telah mengakui, bahwa hadis Nabi adalah salah satu sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an karna hadis Nabi memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dengan Al-Qur’an, maka ulama hadis mulai zaman Nabi telah memberikan perhatian yang khusus terhadap hadis Nabi.
Ulama sangat besar perhatiannya kepada sanad hadis. Disamping juga matn hadis. Hal ini terlihat, sedikitnya, pada: pernyataan-pernyataan ulama uyang menyatakan bahwa sanad merupakan bagian tak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadis, banyak karya tulis ulama berkenanan dengan sanad hadis, dan dalam praktek, apabila ulama menghadapi suatu hadis, maka sanad hadis merupakan salah satu bagian yang mendapat perhatian khusus, dengan demikian, sanad hadis memiliki kedudukan yang sangat penting.
Sanad hadis memiliki kedudukan sangat yang sangat penting, sebab utamanya dilihat dari dua sisi, yaitu: 1. dilihat dari kedudukan hadis sebagai sumbar ajaran Islam, 2. Dan dilihat dari sisi sejarah hadis. Dengan demikian sangatlah penting mengkaji mengenai sanad hadis, baik itu dalam segi persambungan sanad, kualitas periwayat hadis maupun tata cara penerimaan dan penyampaian hadis. Yang sedikit banyak akan dibahas dalam makalah ini.

II.      PENGERTIAN SANAD BERSAMBUNG
 Sanad bersambung atau Itishal, menurut bahasa ittishal ( اتّصل ) barasal dari kata wa shala ( وصل )yang memiliki arti sampai, berkelanjutan[1]. Sedangkan menurut istilah Sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu. Jadi seluruh rangkaian periwayat dalam sanad mulai dari periwayat yang disandari oleh al-Mukharrij (penghimpun riwayat hadits dalam karya tulisannya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi bersambung dalam periwayatan.
 Ulama hadits berbeda pendapat tentang nama hadits yang sanad-nya bersambung. Al-Khatib al-Baghdadiy menamainya sebagai hadits musnad. Ibn al-Shalah dan al-Nawawy menyebutnya dengan hadits yang muttashil atau maushul yaitu hadits yang bersambung sanad-nya baik persambungan itu sampai kepada Nabi maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi saja.

III.   KRITERIA PERSAMBUNGAN SANAD
Untuk mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
1.    Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
2.    Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat :
a.    Melalui kitab-kitab Rijal al-Hadits, misalnya kitab Tahdzib al-Tahdzib (susunan Ibnu Hajar al-Asqalaniy), dan kitab al-Kasyf (susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby).
b.    Apakah antara periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan : a). Kesezamanan  pada masa hidupnya dan b). guru-murid dalam periwayatan hadits.
3.    Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasaniy, haddatsana, akhbarana, ‘am, anna, atau kata-kata lainnya.[2]
Jadi, suatu sanad hadits barulah dapat dikatakan bersambung apabila:
a.    Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqat (adil dan dhabith).
1)      Perawi yang adil adalah rawi yang menegakkan agama Islam, serta dihiasi akhlak yang baik, selamat dari kefasikan juga hal-hal yang merusak muru’ah.
2)      Perawi yang dhabith adalah rawi tersebut hafal betul dengan apa yang ia riwayatkan dan mampu menyampaikannya dengan baik hafalannya, ia juga memahami betul bila diriwayatkan secara makna, ia memelihara hafalan dengan catatan dari masuknya unsur perubahan huruf dan penggantian serta pengurangan di dalamnya bila ia menyampaikan dari catatannya.[3]
b.    Antara masing-masing periwayat dengan periwayat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan Tahammul wa ada’ al-hadits.[4]
Dalam hubungannya dengan tidak terpenuhinya unsur sanad bersambung, secara garis besar Ibn Hajar al-‘Asqalany membagi hadis dha’if  kepada 5 macam yakni hadits Mu’allaq (hadits yang periwayat di awal sanad-nya gugur (terputus) seorang atau lebih secara berurut), hadits mursal (hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh al-Tabi’in, baik al-Tabi’iy besar maupun al-Tabi’iy kecil tanpa terlebih dahulu hadits itu disandarkan kepada sahabat Nabi), hadits mu’dhal (hadits yang terputus sanadnya dua orang periwayat atau lebih secara berurut), hadits munqathi’ (hadits yang sanad-nya terputus di bagian mana saja baik di bagian periwayat yang berstatus sahabat maupun periwayat yang bukan sahabat) dan hadits mudallas (hadits yang terdapat tadlis atau terjadi persembunyian (pengguguran) periwayat. Kelima macam istilah ini menerangkan letak dan jumlah periwayat yang terputus dalam sanad.

IV.   APLIKASI PERSAMBUNGAN SANAD
Berikut ini dikemukakan contoh dari Sanad Riwayat Ahmad dari Al-Aswad bin Sari’ tentang pernyataan Pujian.
حَدَّثَنَا عبدالله حدَّثَنِى أَبِى ثَنَا رُوْحٌ قَالَ : ثَنَا عَوْفٌ عَنِ الْحَسَنِ عَنِ الْاَسْوَدِ بْنِ سَرِيْعٍ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ الله ، أَلاَ أَنْشُدُكَ مَحَامِدَ حَمِدْتُ بِهَا رَبّى تَبَارَكَ وَتَعَالٰى ؟ قَالَ : (( أَمَا اِنَّ رَبَّكَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ الْحَمْدُ ))[5]

Lanngkah pertama
         Mencatat nama-nama periwayat atau bisa buat skema persambungan sanad  sebagai berikut:
Text Box: قال
 

















                                                           Gambar. II
Sanad Hadis Riwayat Ahmad dari Al- Aswad Bin Sari’

Langkah kedua dan ketiga; menelusuri riwayat nama-nama periwayat dan meneliti kata-kata yang menghubungkan sanad antar para perawi, sebagaimana berikut;
Pada Gambar II terlihat nama-nama periwayat dan kata-kata yang menghubungkan antara masing-masing periwayat itu dengan periwayat yang terdekat dalam sanad hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal diatas. Berikut ini dikemukakan secara ringkas identitas para periwayat tersebut dan hubungan mereka masing-masing dengan periwayat terdekat sebelumnya yang terdapat dalam sanad hadits itu. Hal ini dimaksudkan untuk dapat diketahui apakah sanad tersebut bersambung ataukah tidak bersambung.
V.  Yang dimaksud dengan nama Ahmad dalam Gambar II diatas ialah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Habil bin Asad al-Syaybaniy Abu ‘Abd Allah al-Marzawiy ( wafat 164-241 H ). Dia, yang berfungsi juga sebagai al-mukharrij, telah menerima hadits tersebut dari Ruh (روح.)  Ahmad memang salah seorang murid dari Ruh (روح) dalam periwayatan hadits. Ulama kritikus periwayat hadits menilai Ahmad sebagai seorang yang siqat. Tidak ada seorang ulama pun yang melontarkan celaan terhadap diri Ahmad. Dalam Gambar II tampak, Ahmad menerima hadits diatas dari Ruh dengan cara al-sama’ dilihat menggunakan kata  حد ثنا . Kalau begitu, sanad  dari Ahmad kepada Ruh (روح) bersambung.
IV.   Nama Ruh (روح) yang termuat dalam Gambar II diatas adalah Ruh bin ‘Ubadah bin al-‘Ala bin Hasan bin al-Qaysiy (wafat 205 H). Dia salah seorang murid ‘Awf. Para kritikus periwayat hadits menilai Ruh sebagai seorang periwayat yang siqat. Tidak ada ulama yang melontarkan celaan terhadap diri Ruh. Dalam Gambar II terlihat, Ruh menerima hadits diatas dari ‘Awf dengan cara al-sama’ dilihat dari penggunaan kata حد ثنا. Dengan demikian, sanad dari Ruh kepada ‘Awf bersambung. Ini berarti juga, sanad dari Ahmad sampai kepada ‘Awf bersambung.

III.  Yang dimaksud dengan ‘Awf dalam Gambar II diatas ialah ‘Awf bin Abiy Jamilah al-Abdiy al-A’rabiy (wafat 146 H, ada yang menyatakan 147 H). Dia adalah salah seorang murid al-Hasan al-Bashriy. Para kritikus hadits menilai ‘Awf sebagai seorang periwayat yang siqat. Ulama tidak ada yang mencela pribadi ‘Awf. Dalam Gambar II terlihat ‘Awf menerima hadis dari al-Hasan secara ‘an‘anah. Walaupun ‘Awf memakai cara ‘an‘anah tetapi sanad dari ‘Awf kepada al-Hasan karena, [a] ‘Awf seorang periwayat yang siqat yang tidak pernah terbukti memalakukan tadlis; dan [b] ‘Awf adalah salah seorang murid al-Hasan dalam periwayatan hadits dengan demikian, sanad dari Ahmad kepada al-Hasan bersambung.
II. Yang dimaksud dengan al-Hasan dalam Gambar II tersebut adalah al-Hasan bin Abiy al-Hasan Yasar al-Bashriy. Muhammad bin Sa’id menyatakan, al-Hasan itu siqat. Kata al-Dzahabiy, bila al-Hasan meriwayatkan hadis dengan memakai haddasana, maka ulama sepakat menilai al-Hasan sebagai siqat. Tetapi bila al-Hassan meriwayatkan hadits dari Abu Hurayrah dan beberapa sahabat tertentu lainnya, maka ulama menilai al-Hasan sebagai mudallis. Kalau begitu, ke-siqat-an al-Hasan bersyarat. Syarat itu tidak terpenuhi dalam sanad yang dibahas diatas karena al-Hasan tidak menggunakan lafal haddatsana, melainkan lafal ‘an. Sampai tahap ini al-Hasan patut dicurigai telah berbuat tadlis dalam sanad diatas.
I. Al-Aswad bin Sari’ yang termuat namanya di Gambar II diatas adalah Al-Aswad bin Sari’ bin Himyar bin ‘Ubadah al-Tamimiy al-Sa’diy.wafat pada umur 42 tahun. Dia ini seorang sahabat nabi yang dikenal dengan penyair yang baik. Menurut penelitian ulama, al-Hasan al-Bashriy tidak pernah bertemu dengan al-Aswad bin Sari’. Karena sampai al-Aswad meninggalkan kota Baghdad dan tidak pernah beritanya lagi, al-Hasan masih tinggal di Madinah, dan tidak pernah bertemu dengan al-Aswad bin Sari’. Jadi, walaupun al-Hasan hidup sezaman dengan al-Aswad, tetapi al-Hasan tidak pernah menerima riwayat langsung dari al-Aswad. Ini berarti, sanad al-Hasan diatas terputus, karena sanad hadits riwayat Ahmad bin Hanbal tersebut dho’if.












DAFTAR PUSTAKA


Al-‘Asqalaniy, Ahmad bin ‘Aliy bin Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, Lebanon, Beirut : Dar al-Kotob Al-Imiyah: 2004, Jilid I, II.
Al-Bukhari, Abu’Abd Allah Muhammad bin Ismail, Al-Tarih al-Kabir, Lebanon, Beirut : Dar al-Kotob Al-Ilmiyah: 2008, Jilid II.
As-Sulaiman, Abdul Ghafar,.Mausuah Rijal al-Kutub At-Tisah, Lebanon, Beirut : Dar al-Kotob Al-Ilmiyah: 1993, Jilid I, II, V, VI.
Al-Ulama’i, Hasan Asy’ari, Melacak Hadis Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadis Nabi dari Manual hingga Digital, Semarang : RaSAIL, 2006.
Ibn Hambal, Abu Abd Allah Ahmad, مسند الامام احمد بن حنبل, Lebanon, Beirut : Dar       al-Kotob Al-Ilmiyah, tt, Juz III.
Ismail, Syuhudi, Kaedah  Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1995.
Munawwir, Ahmad Warsono, Kamus Al- Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Surabaya, Pustaka Progressy: 1997.



[1] Ahmad Warsono Munawwir, Kamus Al- Munawwir Arab-Indonesia, ( Surabaya, Pustaka Progressy:1997),  Hlm.1562
[2] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits,  (Jakarta, PT. Bulan Bintang: 1995), cet II, hlm. 127-128
[3] Hasan Asy’ari Al-Ulama’i, Melacak Hadis Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadis Nabi dari Manual hingga Digital,  (Semarang : RaSAIL, 2006), hlm. 29
[4] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, ... , hlm. 128
[5] Abu Abd Allah Ahmad Bin Hambal, مسند الامام احمد بن حنبل, (Beirut : Dar al-Kitab Al-Ilmiyah,), Juz III, hlm. 531

Tidak ada komentar:

Posting Komentar